PANJANG UMUR



Oleh : Imam Soebagio

Empat tahun silam Dik Marsono pensiun sebagai PNS. Sehari setelah Idul Fitri kemarin dia berulang tahun ke-60. Dia sangat mensyukurinya, sehingga perlu di-bancaki. Mumpung ketiga anaknya datang saat mudik lebaran. Dik Min, isterinya tidak lupa masak opor ayam santan kental ditemani ketupat. Saya yang diundang untuk ikut makan-makan melihat kebahagiaan Dik Marsono bersama keluarga besarnya. Ketika saya tanya, apa yang membuat dia sebegitu bahagia, dia menjawab sederhana. KTP-ku berlaku seumur hidup, mas. Itu artinya, kalau naik kereta api kamu dapat potongan 20 persen, kataku. Seluruh keluarganya tertawa.

Usai makan-makan, saya dan Dik Marsono duduk berdua di teras rumahnya. Tidak seperti biasanya, di cuma menunduk melihat kaki meja didepannya. Menurut ukuran saya, Dik Marsono adalah laki-laki yang berhasil. Dik Min, isterinya yang asli Trenggalek masih kelihatan cantik seperti saat mahasiswa dulu.

Ketiga anaknya sarjana semua dan tiga kali mantu. Mereka masing-masing punya pekerjaan yang membanggakan dan berhasil menambah empat cucu dalam keluarga Dik Marsono. Mereka masing-masing ada di Jakarta, Batam dan Papua, sehingga kalau tidak lebaran mereka susah untuk berkumpul bersama seperti malam itu.

Dik Marsono diam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Tanpa tawa, tanpa kata. Saya tidak tahan dengan kondisi semacam ini. Saya memberanikan diri untuk bertanya. Apa yang membuatmu murung, dik, tanya saya. Agak lama dia menjawab. Ternyata jawabnya mengagetkan. Sampai kapan saya diberi diberi umur panjang, ya mas. Saya kepingin merasakan kebahagiaan terus seperti malam ini, katanya lagi.

60 tahun lagi.
Menurut Dr. Robert Butler dari National Insritute of Aging, AS, tubuh manusia dirancang memiliki biogentic maximum life span hingga 120 tahun. Kalau menilik teori itu, artinya, Dik Marsono masih bisa hidup 60 tahun lagi.

Setiap makluk hidup memiliki umur yang berbeda. Nyamuk bertahan beberapa minggu, lebah pekerja beberapa bulan. Binatang seperti tikus mempunyai umur sampai 4 tahun, burung kolibri 12 tahun, anjing 15 tahun. Sementara itu, gajah bisa mencapai 70 tahun, ikan paus 100 tahun, dan kura-kura 150 tahun. Manusia seperti yang disebutkan, mempunyai “umur emas” 120 tahun.

Menurut dr. Handrawan, umur harapan hidup orang sekarang lebih pendek dari potensi biologisnya. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh salah kelola. Bahkan, orang AS yang dianggap lebih sehat umur harapan hidupnya baru 76 tahun.

Banyak penyebab mengapa bangsa di suatu negara tidak mencapai umur biologis optimal. Faktor musim, keadaan perang, kultur, ekonomi, tingkat pendidikan dan derajat kesehatan bangsa. Semua mempengaruhi umur harapan hidup. Namun, penyebab terbesar lantaran faktor ulah salah manusia. Karena, orang tidak sepenuh hati menjalani hidup sebagaimana yang dituntut ilmu kedokteran. Bisa jadi karena ketidaktahuan. Jarang terdengar orangtua, sekolah, pemerintah di Indonesia mendidik anak-anak dengan perilaku hidup sehat.

Berdasarkan penelitian, pola hidup berlebihan, hidup tegang dan terburu-buru menyebabkan orang tidak berumur panjang. Dokter Raymond Pearl pernah meneliti 2.000 orang berumur lebih dari 90 tahun. Sifat sangat mencolok yang mereka miliki adalah temperamen lembut, tenang, tidak cepat marah, tidak pencemas, dan rileks. Ia mendapati, bekerja keras secara fisik terus-menerus dan kurang istirahat akan memperpendek umur. Terutama yang berusia 40 tahun. Orang yang sering mengalami kelelahan berkepanjangan cenderung meninggal lebih dini.

Prinsip ”makan untuk hidup”, makan sekadar untuk hidup terbukti lebih panjang umur dari mereka yang ”hidup untuk makan”. Seperti penelitian yang menyebutkan, orang yang senang sate kambing, tongseng jeroan, sop buntut atau kikil, masakan padang bersantan, minum teh telur, tiap hari makan es krim, setiap pagi sarapan roti keju, alamat tidak berumur panjang. Karena makanan itu banyak mengandung lemak jenuh yang sering disebut lemak jahat (High Density Lipoprotein, HDL).

Lemak jahat itu dalam tubuh dirombak menjadi kolesterol. Makin banyak kolesterol dalam darah, makin besar kemungkinan terkena serangan jantung atau stroke. Karena pembuluh darah jantung atau pembuluh darah otak lambat laun akan tersumbat oleh thrombus yang berbahan asal kolesterol.

Lalu bagaimana agar seseorang dapat meraih panjang umur? Menurut dr. Handrawan bila ingin panjang umur hendaknya kita belajar dari penduduk Okinawa di Jepang. Rata-rata orang Okinawa berumur seratus tahun. Bukan sekadar panjang usia belaka. Mereka menikmati hidup sentosa sepanjang hayatnya. Ini berdasarkan studi yang dilakukan Harvard Medical School selama 25 tahun yang kemudian diterapkan di dunia medis dengan nama “Program Okinawa”.

Dari Okinawa terbuka tabir rahasia panjang umur. Ternyata rahasianya terletak pada pola makan mereka yang serba alami, porsi kecil dan berpantang menu olahan. Mereka memilih menu alami kaya karbohidrat, jenis padi-padian, kacang-kacangan, biji-bijian, umbi-umbian. Selain sayur-mayur dan buah-buahan segar. Porsi protein lauk-pauknya tak berlebihan dan lebih didominasi yang berasal dari ikan. Penduduk Okinawa sesedikit mungkin menyantap menu daging atau unggas dan beralih lebih banyak ikan dari laut dalam.

Saya memang belum ketemu Dik Marsono lagi. Tetapi saya tambah ilmu akibat kecemasannya. Saya juga ingin panjang umur, koq. Dan, gambar yang menemani tulisan ini adalah keluarga penulis bersama anak cucu.

ISTANA NEGARA & ISTANA MERDEKA


Oleh : Siti Zaenab, S.Pd

20 Oktober 2009, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dilantik setelah memenangkan pemilu. Sudah saatnya Presiden Soesilo Bambang Yudoyono dan Wakil Presiden Boediono mulai bekerja. Pasangan pemimpin bangsa ini punya tekad bekerja sebagai satu tim. Oleh karenanya, keduanya memilih bekerja dalam satu komplek di Istana Merdeka. sebelumnya, Presiden bekerja di Istana Presiden di Jalan Merdeka Utara dan Wakil Presiden di Istana Wapres di Jalan Merdeka Selatan. Mulai tahun ini Presiden dan Wakil Presiden sama-sama berkantor di Istana Merdeka di Jalan Merdeka Utara.

Beberapa saat lalu ketika penulis ke ibu kota, seringkali mencoba melihat kemegahan Istana Merdeka. Namun susah sekali, karena disana hampir setiap hari ada demo. Tetapi usai Lebaran kemarin, saat Jakarta lengang, penulis menyempatkan diri untuk melihat pusat pemerintahan bangsa ini. Walaupun hanya dari luar pagar. Berjalan di trotoar Taman Monas di Jalan Merdeka Utara. Kemudian berhenti di pintu masuk silang monas di sebelah barat daya.

Gaya Yunani.
Istana Kepresidenan Jakarta terdiri dari dua bangunan istana. Istana Merdeka, yang menghadap ke Taman Monumen Nasional, dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung di Jalan Veteran. Kedua istana ini dihubungkan dengan halaman tengah yang luasnya kira-kira setengah lapangan bola. Selain itu terdapat pula bangunan lain, yaitu Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan.

Semula, Istana Negara dibangun untuk kediaman pribadi seorang Belanda bernama J.A. van Braam pada tahun 1796. Namun pada 1816 bangunan bergaya Yunani ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Sekaligus untuk kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Komisaris Jenderal Belanda G.A.G.P. Baron van der Capellen memilih gedung itu sebagai tempat kediamannya. Itulah sebabnya bangunan ini disebut “Hotel Gubernur Jenderal”.

Tadinya bangunan ini berlantai dua tetapi tahun 1848 bagian atasnya dibongkar. Sedangkan bagian bawahnya diperluas sampai 3.375 meter persegi sehingga memberi kesan lebih resmi. Bangunan megah inilah yang tetap dipertahankan sampai kini.

Banyak peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara ini. Diantaranya, ketika Jenderal de Kock menguraikan rencana menindas pemberantokan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal Baron van der Capellen. Kemudian saat de Kock merumuskan strategi menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Demikian juga saat Gubernur Jenderal van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultur stelsel. Kemudian disini pula pada 25 Maret 1947 ditandatangani persetujuan Linggarjati.

Sampai saat ini tercatat 20 kepala pemerintahan dan kepala negara menggunakan istana ini sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan. Disamping digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara-acara bersifat kenegaraan. Seperti pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rakernas atau kongres yang bersifat nasional dan internasional.

Sementara itu, Istana Merdeka yang menghadap Taman Monumen Nasional (Monas) dibangun tahun 1873 saat pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge. Arsitek pembangunannya adalah warga Belanda bernama Drossaers. Semula bernama Istana Gambir sampai penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Saat itu ditandai dengan penurunan bendera Merah Putih Biru. Diganti dengan bendera Merah Putih yang disambut gegap gempita massa sambil meneriakkan pekik ”Merdeka”. Maka sejak itulah Istana Gambir menjadi Istana Merdeka.

Luas bangunan Istana Merdeka sekitar 2.400 meter persegi. Didalamnya terdapat beberapa ruangan. Yakni Ruang Kredensia, Ruang Jepara, Ruang Raden Saleh, Ruang Resepsi. Ruang lain adalah Ruang Bendera Pusaka yang digunakan untuk menyimpan bendera pusaka yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Untuk diketahui bahwa bendera pusaka hanya dikeluarkan setiap peringatan Detik Detik Proklamasi, menemani duplikat untuk dikibarkan.

Di halaman Istana Negara terdapat tiang bendera yang tingginya 17 meter. Di halaman inilah dijadikan tempat dilaksanakannya upacara peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia setiap tanggal 17 Agustus.

Amanah.
Maka sejak kemerdekaan Republik Indonesia, kedua istana itupun menjadi milik bangsa Indonesia dan menjadi pusat upacara-upacara kenegaraan yang menyangkut kehidupan Negara Indonesia. Karena pemerintahan Republik Indonesia sejak pengakuan kedaulatan berpusat di Jakarta, maka sejak itu istana kepresidenan ini menjadi pusat pemerintahan dan acara resmi kenegaraan.

Selain berfungsi sebagai kantor, Istana Negara digunakan sebagai kediaman Presiden. Sebelumnya merupakan kediaman Gubernur Jendral Hindia Belanda dan Panglima pendudukan Jepang. Sejak Indonesia merdeka, tercatat Presiden Soekarno mendiami Istana Negara mulai tahun 1950. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Presiden Soeharto dan Presiden B.J.Habibie lebih sering menggunakan Bina Graha sebagai ruang kerjanya.. Presiden Soeharto memilih tinggal di Jalan Cendana sementara Presiden B.J.Habibie tinggal di kawasan Patra Kuningan.

Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, ruang kerja presiden pindah di Istana Negara dengan alasan karena Bina Graha berada di Jalan Veteran yang
lalu-lintasnya ramai sehingga mengganggu. Selain pertimbangan keamanan. Bina Graha sendiri kemudian diubah fungsinya menjadi Museum Istana. Untuk kediamannya, Presiden Megawati memilih tinggal di kediamannya di Jalan Kebagusan atau Jalan Teuku Umar.

Istana Negara dan Istana Merdeka di Jakarta memegang peranan penting dalam sejarah. Terutama dalam proses pengambilan keputusan untuk rakyat Indonesia. Baik pada jaman penjajahan Belanda, Inggris, Jepang maupun setelah kemerdekaan. Mudah-mudahan dengan difungsikannya Istana Negara dan Istana Merdeka menjadi kantor kedua Pemimpin Bangsa ini menjadi tempat yang amanah untuk meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan bangsa.

Selamat bekerja Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono.
Dalam gambar tampak penulis bersama anak (Andi) foto bersama di depan Istana Merdeka, sesaat mengantar Andi berangkat ke Dubai.

SEMUANYA KARENA BIPANG


Oleh : Imam Soebagio

Rutinitas kehidupan sehari-harinya dia mulai sesudah subuh. Usai menjalankan sholat Subuh, dia memulai roda kehidupannya diatas roda sepeda bututnya. Keliling kota Jember sampai menjelang sholat Dhuhur, menjual bipang dan krupuk rambak. Pekerjaan yang sudah dilakoninya sejak puluhan tahun lalu. Lansia kelahiran 1945 ini tidak merasa bosan dengan pekerjaannya, dengan barang dagangannya, dengan penghasilannya berjualan makanan ringan ini.

Itulah sosok Slamet yang banyak dikenal para ibu di dalam kota Jember sampai pinggiran kota. Para ibu rumah tangga sangat faham kalau Slamet selalu mendatangi kampungnya seminggu sekali. Slamet sendiri sudah membuat jadwal, hari ini ke wilayah ini dan berikutnya ke wilayah satunya, dan seterusnya. Seminggu kemudian, Slamet kembali ke rute tetapnya.
Barang dagangannya cuma bipang. Sebagai pelengkap, dia juga menjual krupuk rambak. Bipang yang dia jual di-drop dari Pasuruan. Sedang krupuk rambak, dia kulakan dari Mangli, masih wilayah Jember.

Slamet dikenal sebagai orang tua sabar dan selalu santun kepada pelanggannya. Satu pak bipang dia jual dengan harga Rp. 1.250. Tidak lebih dari harga itu, karena sudah ada untungnya. Padahal dulu harganya cuma seringgit alias dua setengah rupiah. Saat itu kulakannya hanya satu setengah rupiah. Keuntungan satu rupiah saat itu bisa buat belanja macam-macam, tetapi sekarang untung seribu rupiah cuma bisa untuk beli empat buah kerupuk.

Selama sekitar enam jam keliling kota kalau ada rejeki Slamet mampu menjual tiga bal bipang. Tetapi kalau hari mulai panas dan dagangannya hanya laku dua bal, dia pulang ke rumahnya Gebang Tenggil, Kelurahan Kebonagung, Kecamatan Kaliwates.

Satu bal bipang berisi 35 pak yang harga kulakannya Rp. 30 ribu. Kemudian dia jual Rp. 1.250 per pak. Jadi keuntungan menjual tiap bal bipang Rp. 13.750. “Kalau ada rejeki, sekali keliling kota bisa laku 3 bal”, jelas Slamet. Artinya dia akan mengantongi untung Rp. 41.250. Tetapi rata-rata sehari paling banyak dua bal. Itu sangat dia sukuri, apalagi jaman sekarang diakui Slamet cari uang sangat susah.

Gembala kambing.
Menjelang sholat Dhuhur, Slamet sudah tiba kembali dirumahnya. Setelah sholat, dan makan, Slamet mulai menggembalakan kambing. Beberapa ekor kambing milik menantunya dia gembalakan tak jauh dari rumahnya sambil merumput. Pekerjaan itu ditunaikannya sampai waktu sholat Ashar. Bersama kambingnya Slamet pulang.

Slamet yang tinggal bersama isteri, seorang anak dan menantunya ini tidak punya keinginan apa-apa menghadapi masa tua. Dia tidak dapat BLT walaupun tergolong miskin. Keluarganya juga tidak dapat kompor gas dan tabung walaupun dia membutuhkannya. Dia cuma bersukur karena diberi usia yang cukup. Namun alangkah bahagianya kalau dia punya kambing sendiri. Untuk persiapan mantu, apabila anak bungsunya minta kawin.


TUA KREATIF, MANDIRI DAN BERDAYA GUNA


Oleh : Imam Soebagio

Adalah Imro’ah namanya, nenek yang tinggal di Rambipuji ini yang produktif menulis puisi dan tulisan lepas lainnya.. Lansia berumur 71 tahun ini masih suka membaca, apapun yang ditemukan. Kalau tidak menemukan bacaan baru, buku lama pun dibacanya sehingga banyak hal yang bisa diceriterakan kembali kepada sebayanya di Rambipuji.

Dia banyak bertutur kepada kaumnya, karena Imro’ah memang ketua Karang Werda Flamboyan. Kumpulan lansia di kota Rambipuji yang banyak aktifitasnya seperti jalan sehat, senam pagi, membuat kerajinan tangan sampai posyandu lansia. Dilahirkan di Wuluhan, 13 Maret 1938. Tamat SD di Wuluhan 1954, kemudian menyelesaikan sekolahnya di SMP I Jember dan SGKP Surabaya tahun 1959. Begitu lulus SGKP ditugaskan di SKP Maospati, Madiun. Sebuah sekolah kewanitaan yang baru dibangun oleh Wedono Oetomo, yang kelak jadi Bupati Jember.

Kemudian dipindah ke SKP Jember mengikuti suaminya yang guru SMP bernama Achmad Salam. Suaminya manntan Kepala SMP Negeri I Jember yang telah mendahuluinya. Sedangkan Imro’ah sendiri pensiun sebagai guru SMP Negeri Rambipuji tahun 1998. Yang patut diacungi jempol Karang Werda Flamboyan yang mewakili Kabupaten Jember tahun 2009 ini berhasil menjadi Juara Harapan Karang Werda Potensial Provinsi Jawa Timur.

Sebuah karya puisi berjudul Pepaya (2006), bercerita tentang lansia yang kreatif, mandiri dan berdaya guna. Dia persembahkan bagi para lansia.


PEPAYA

Pepaya …………….. !
Kutanam engkau dekat jendela
Kusiram, kupupuk …………. Sehat sentosa
Sosokmu pesona kalbu
Tumbuhkan haraapan selalu.

Pabila sampai waktunya
Segra hamba buka jendela
Aha …… indah nian bunga merenda
Pucuk menjulang gapai angkasa.

Pepaya ………….
Kupetik daunmu, puspamu, juga akarmu
N’tuk tingkatkan mutu bangsaku
Namun kau tetap menjulang perkasa
Kau sembahkan buahmu jua.

Kini …… senja t’lah tiba
Satnya buahmu ranum menguning
Siap dihidang di gelas dan piring
Pelepas haus dahaga.

Pepaya ………..
Purna sudah tugas muliamu
Demi lestari nusa bangsaku
Pengabdianmu tiada tara
S’moga Tuhan beri pahala.

TETAP SANTUN SAMPAI SEPUH


Oleh : Dra. Hj. Soeprapti Soedjatno

Berbicara dengan pasangan suami isteri Poernomo terasa sangat sejuknya. Tutur kata pasangan priyayi sepuh ini terasa sangat santun. Tidak menggururi, namun penuh makna, dengan sikap hidup dalam kesederhanaan. Maklumlah Poernomo, 75 tahun, yang pensiunan guru SPG Jember ini lulusan PTPG Jurusan Paedagogik. Sedangkan isterinya Soetiati, 70 tahun, lulusan SGTK. Lagipula, keduanya masih aktif di Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal).

Kehidupan sederhana mantan gurunya para guru ini ternyata mampu mengantar putra putrinya menjadi “tukang insinyur”. Walaupun penuh keprihatinan dan kesederhanaan. Katakanlah, saat baru diangkat sebagai PNS dengan tugas sebagai guru SGTK Negeri Banjarmasin tahun 1962, sehari penuh dia tidak di rumah. Untuk memenuhi panggilan jiwa sebagai pendidik sekaligus untuk menopang kebutuhan hidupnya, sepanjang hari dia harus berada di luar rumah. Sebagai guru di SKTK, SGKP, SGPD, SPG I dan SPSA.

Hal itu dikerjakannya selam 8 tahun. Pekerjaan rangkap inilah yang membuat Poernomo semakin mantap hidupnya dan semakin mensyukuri hidup. Bahwa untuk hidup, orang harus berjuang, penuh kesabaran dan tawakkal.

Makan bubur.
Beruntung Poernomo punya isteri yang sabar. Maklumlah, masih ada hubungan famili. Isterinya, Soetiati dilahirkan di Jambi, 3 Juni 1939. Saat situasi ekonomi masih sulit di Banjarmasin, Soetiati tidak bisa membantu mencari nafkah karena harus merawat tiga anak mereka yang masih kecil. ”Kalau beras habis, kami biasa makan bubur”, kenang Soetiati.
Poernomo anak keempat dari lima bersaudara adalah putra pasangan Jayus Karto Soewignyo dan Sumirah. Dilahirkan di Kaliampo. Pringsurat, Temanggung Jawa Tengah. Sekolahnya tidak mulus karena harus berpindah-pindah lantaran situasi awal kemerdekaan negeri ini. Lulus Sekolah Rakyat tahun 1950 setelah menjelajah berbagai sekolah di SR Pegadon, Kendal kemudian SR Bojo, Semarang Barat, SR Kaliurang, SR Wadas Lintang di Wonosob dan lulus di SR Longkrang II di kota yang sama.

Di SMP juga demikian. Semula bersekolah di SMP Wonosobo, pindah ke SMP Baton Magelang, kemudian SMP III Yogyakarta. Selanjutnya masuk SMA Yogyakarta tahun 1956 dan melanjutkan pendidikan ke Sanata Darma. Lulus Sanata Darma tahun 1959. Namun, karena ada peraturan baru dari Meteri Pendidikan maka dia baru dinyatakan lulus ujian negara tahun 1961.
Makin lama kehidupan keluarga Poernomo semakin membaik, apalagi sejak 1 Juli 1963 pindah mengajar di SPG Negeri Jember. Tugas pasangan ini kemudian menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang perguruan tinggi. ”Alhamdulilah, walaupun anak-anak tidak menerima beasiswa, mereka berhasil menyelesaikan pendidikannya”, kata Bu Poer kepada Gema Lansia.

Kemudian dimulai dari anak angkatnya membiayai anak-anak Pak Poer yang lain. Demikian seterusnya berjenjang, yang sudah bekerja ikut membantu membiayai kuliah adik-adiknya. Putra putri mereka lulusan lulusan ITB dan ITS. Bahkan menantunya juga para insinyur. Hanya yang bungsu saat ini masih tinggal ujian akhir di Fakultas Geologi di UPN Bandung.

Hari-hari tuanya, kini diisi Poernomo dengan apa saja yang bisa dilakukan, termasuk merawat tanaman bungu di halaman rumahnya. Menjadi Penasehat Pengurus PWRI Cabang Jember dan menjadi anggota biasa Pangestu namun selalu memberikan olah rasa . Atau menulis, membuat catatan ringan yang kebanyakan mengenai falsafah hidup untuk majalah Dwija Wara.

Semangat Pak Poer bersama isteri untuk menjadikan putra-putrinya berpendidikan tinggi dan berhasil “menjadi orang” patutlah diacungi jempol. Pasangan pendidik ini sejak awal selalu tabah menghadapi tantangan masa depan yang dilaluinya dengan senyum khas Pak Poer. Semuanya dilakoninya dalam kesederhanaan hidup sesuai moto : “Pingin gesang ingkang wajar lan narimo ing pandum”.

No. Anak Menantu Tinggal di
1. Ir. Hestu Wiji Nugroho Sringatin Jakarta
2. Ir. Ning Nastiti Ir. Edy Sarwono Cilacap
3. Sigit Respati, BSc Esti Hartini, SE Jember
4. Nur Cahyani, ST Ir. Sendy Yulianto Serpong, Banten
5. (Alm) Gunawan Budi R -
6. Sunarno, ST Siti Aminah, ST Ujung Pandang
7. Harso Soetoko (kuliah di Geologi Bandung) Bandung

Cintai kebenaran.
Tentang biaya pendidikan putra-putrinya, Pak Poer yang pengagum Bung Karno ini menjelaskan semuanya ditanggung bersama. Putri angkat keluarga ini, Gianti yang kini tinggal bersama suaminya di Surabaya, mengawali biaya kuliah Hestu bersama Pak Poer. Kemudian berturut-turut Gianti bersama Hestu membiayai adik-adiknya. Demikian seterusnya sampai putra bungsu Pak Poer yang tinggal menyelesaikan skripsi dibiayai oleh kakak-kakaknya.

Menanggapi keadaan dunia yang semakin edan, Pak Poer mengharap agar kita semua mencintai kebenaran, terutama mencintai Tuhan. Oleh karenanya, seyogyanya kita membiasakan diri untuk hidup sederhana, tidak terlalu mengejar kepuasan duniawi.

Ketika ditanya, apa resep hidup yang membuat panjang umur. Pak Poer yang selalu didamping isterinya menjelaskan, makan apa adanya. Kurangi yang manis-manis dan lauk yang menemani makan suami isteri ini cukup sayur bening dengan tahu dan tempe. Pasangan yang tinggal berdua di Jalan Letjen Soeprapto XA/63 Jember ini, masih membaca Panyebar Semangat dan nonton berita di televisi.

Lebaran kemarin putra-putri Pak Poer bersama ke-13 cucunya datang ke Jember. Inilah yang membuat Pak Poer bersama isterinya Soetiati mensyukuri nikmat. Dan Nopember mendatang, Pak Poer bersama isterinya mengunjungi putra-putrinya yang ada di luar kota. Dimulai dari Cilacap, sambil menunggu putranya yang akan melahirkan.

ANTARA PAGAR DAN LANSIA



Oleh : Imam Soebagio


Usai Lebaran kesibukan mulai tampak di alun-alun kota Jember. Pagar yang mengitari alun-alun dibongkar lagi dan trotoar diperlebar. Katanya, proyek ini untuk mempercantik Jember. Seperti motto Bupati Jember, ”Membangun Desa Menata Kota”. Proyek penataan pagar alun-alun ini dibiayai APBD dengan dana sebesar Rp. 1 milyar alias seribu juta rupiah.

Pro dan kontra timbul. Tetapi program menata kota jalan terus, walaupun proyek ini terasa dibangun secara tiba-tiba. Saya sendiri cuma bisa mengelus dada karena saya punya cerita yang berkaitan dengan dana sebesar itu.

Sekitar tiga bulan lalu saya bersama tiga teman diminta Dinas Sosial untuk menjadi Tenaga Pendamping lansia miskin untuk memperoleh bantuan modal. Program Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur ini merupakan bantuan modal Usaha Ekonomis Produktif (UEP) bagi lansia. Jember mendapat jatah 41 lansia dari 410 orang bagi 10 kabupaten di Jawa Timur.

Ke-41 lansia ini dipilih yang punya usaha tetapi tergolong miskin, tidak menerima BLT dan bukan penerima pensiun atau tunjangan lain. Oleh fihak provinsi ke-41 lansia ini diseleksi lagi sehingga tinggal 31 lansia calon penerima. Dikatakan calon penerima karena sampai saat ini bantuan modal sebesar Rp. 1 juta belum turun. Walaupun mereka sudah membuka rekening bank.

Kepada fihak provinsi saya pernah usul agar sepuluh lansia yang tidak lolos seleksi, diupayakan memperoleh bantuan modal. Karena ,di lapangan, kami berempat sebagai pendamping yang melakukan pendataan, diprotes dan diuber-uber agar mendapat bantuan. Fihak provinsi meminta agar Dinas Sosial Kabupaten bersedia memberikan bantuan kepada sepuluh lansia yang tidak lolos seleksi.

Kepada Kepala Dinas Sosial Kabupaten Jember saya sampaikan hasil pertemuan di Surabaya tersebut. Antara lain agar Pemkab Jember mau membantu Rp. 10 juta untuk sepuluh lansia miskin yang layak mendapat bantuan modal. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Jember menyatakan, Pemkab tidak punya uang. Sehingga tidak bisa membiayainya. Hal itu dikemukakan sekitar sebulan yang lalu.

Ketika saya lihat pagar alun-alun kota Jember dibongkar lagi. Dipercantik dengan dana sebesar seribu juta rupiah, saya jadi trenyuh. Lha wong untuk membantu modal lansia miskin agar mampu mandiri sebesar Rp. 10 juta tidak ada uang, tetapi untuk membongkar pagar alun-alun dengan biaya seribu juta rupiah Pemkab Jember mampu. Ironis memang. Rasanya Perda nomor : 5 Tahun 2008 tentang kesejahteraan lansia kurang nyerempet Jember.

Gambar 1 : Untuk ke-empat kalinya pagar alun-alun kota Jember dibongkat lagi.
Gambar 2 : Lansia penjaja balon udara seperti Wasiyah ini yang perlu modal,
untuk menghidupi dirinya sendiri agar mampu mandiri.

WARTAWAN JADUL





Oleh : Imam Soebagio

Hari-hari setelah memasuki lansia, saya merasa masih banyak waktu kosong saya. Waktu tidur tidak bisa dipaksakan 8 jam (sepertiga waktu dalam sehari). Saya membaca Kompas, Jawa Pos dan Surya. Masih ada lagi seminggu sekali baca Koki dan Nyata atau kiriman majalah, tabloid dan pinjaman majalah karena ada tulisan bagus. Semuanya saya lahap sambil bergilir putar channel Metro, TV One, Trans dan JTV. Mungkin asupan ini yang membuat saya agak telmi. Kata teman, memori saya sudah amber alias penuh. Saya pun harus cari solusi supaya tidak linglung. Biar lebih awet dan lebih lama lagi momong cucu. Sebab usia saya 12 Februari 2010 mendatang, 65 tahun.

Sayapun aktif di Yayasan Gerontologi Abiyoso, Karang Werda, Forum Kerjasama Karang Werda dan PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia). Ternyata masih ada juga waktu kosong saya. Maka saya harus menulis. Menulis apa saja, untuk apa saja. Termasuk menulis untuk blog saya, menjadi full timer Tabloid Gema Lansia dan menjadi editor Majalah BeR-INTAN. Percaya atau tidak, ternyata semakin banyak menulis semakin terangsang untuk baca, ber-face book ria, dan YM. Saya jadi teringat saat saya jadi wartawan jadul. Terutama saat mengejar nara sumber yang pelit atau saat dikejar-kejar dead-line.

Kepuasan batin.
Ketika saya masih duduk di SMP, saya yang suka nulis “Opo Tumon” di majalah Panyebar Semangat, saya sudah dijuluki waratawan oleh banyak orang. Ketika saya benar-benar jadi wartawan, sekitar 45 tahun silam, saya harus mencari berita, melakukan serangkaian wawancara dan konfirmasi. Saat itu banyak nara sumber yang takut dimintai informasi dan konfirmasi. Sehingga terkadang sulit untuk melakukan wawancara. Padahal untuk menemui sumber berita dan nara sumber harus saya tempuh dengan bersepeda pancal.

Kini, jaman sudah berubah. Berkat kemajuan teknologi yang didukung peralatan canggih, kemampuan berpikir orang semakin maju serta transportasi yang memadai maka tugas wartawan menjadi lebih mudah.

Faktor risiko menulis masa lalu dan sekarang juga beda. Pada waktu itu, menulis sesuatu harus benar-benar hati-hati. Walaupun sudah akurat, kalau para pejabat tidak berkenan pasti akan berdampak kurang bagus. Diseberang sana sudah ada petrus, ada dor-bog, atau kecelakaan lalu lintas yang di rekayasa menanti. Saya beberapa kali ditodong, dua kali dimaki-maki Bupati, beberapa kali dipanggil Kejaksaan dan Subdit Sospol, dimarahi Kepala Humas atau menerima teror telpon.

Kapok lombok kata orang Jawa, meskipun jera tetapi saya masih ingin saja menulis. Seperti jeranya menggigit lombok Hari ini kepedesan, mungkin lusa ingin menggigit lombok lagi. Belum lagi ancaman pemecatan sebagai PNS. Maklumlah status saya sejak 1 Januari 1964 adalah PNS di Universitas Jember.

Pekerjaan kewartawanan menurut saya adalah pemenuhan kepuasaan batin. Diawali dari adanya isyu, kemudian bagaimana wawancara harus dilakukan, proses penulisan laporan dan berita. Terakhir ketika laporan dan berita sudah terkirim, tinggal bagaimana laporan dan berita itu dimuat. Tulisan yang dimuat saya baca berkali-kali. Dalam membaca tulisan saya, ada kepuasan batin yang saya rasakan. Seperti yang selalu disampaikan Sakim (LKBN Antara), wartawan tua yang sudah almarhum kepada saya. Kepuasan batin itu tak ternilai harganya.

Soal kesulitan mencari berita, check and re-check dan konfirmasi barangkali sama pada jaman dulu dan jaman sekarang. Semuanya tergantung kepada kepiawaian kita berkomunikasi dan meyakinkan nara sumber.

Yang beda adalah proses pengiriman beritanya. Dulu harus lewat pos. Dari Jember ke Surabaya bisa dua sampai tiga hari. Ke Jakarta bisa empat hari sampai seminggu. Kalau berita dituntut kecepatannya, maka harus dikirim lewat telegram. Jaman pun berubah sedikit demi sedikit. Kalau berita harus cepat diterima redaksi, maka berita bisa di-dikte lewat telepon. Kemudian berkembang levat faximili. Jaman sekarang bisa dikirim lewat internet atau komunikator. Kecepatan dan akurasinya tentunya semakin terjamin.

Pengiriman berita lewat internet dan komunikator hanya membutuhkan hitungan detik. Bahkan dimuatnyapun, cuma membutuhkan waktu beberapa menit saja. Pada era informasi saat ini, dunia seperti tanpa sekat dan tanpa batas. Kematian Jacko lima menit lalu, tiba-tiba saja sudah dilihat di layar kaca televisi seluruh dunia. Gambar jenazah Jacko yang dipindah dari helikopter polisi ke ambulan menjadi berita aktual. Minimal, di layar kaca sudah ada informasi tulisan dalam bentuk running text. Demikian juga siaran berita di radio. Mereka saling berlomba untuk menyiarkan berita aktual.

Ada pengalaman menarik. Ketika menjadi wartawan TEMPO dulu, untuk mengejar dead-line, saya harus naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta. Padahal naik bus dari Jember – Surabaya membutuhkan waktu 5 jam. Itu dilakukan hanya untuk mengirimkan sebuah laporan kecelakaan Bus Akas yang memakan 26 korban jiwa di Ranuyoso, Probolinggo. Dan, pulangnya ke Jember saya naik kereta api murahan yang penuh sesak.

Angkat topi.
Satu persatu wartawan senior saya meninggalkan kita. Mendahului kita menghadap Sang Khalik. Mereka mungkin tersenyum di sorga karena masih banyak anak-anak muda yang mau memilih profesi sebagai wartawan. Wartawan yang tanpa pamrih, penuh semangat kejuangan dan melawan tirani. Walaupun tantangan, risiko dan konsekuensinya berat. Saya angkat topi buat teman-teman wartawan muda.

Beberapa teman belum lama meninggalkan kita seperti Umar BSA (Jember), Anshori Thoyib (Ketua PWI Jatim), Soenaryo (Bhirawa), Basuki (Panyebar Semangat), Peck Diono (Suara Indonesia), Agil H. Ali (Memorandum) dan sejumlah nama yang saya lupa. Semoga pengabdian mereka selama di dunia dicatat Tuhan dan mendapat tempat yang layak disisiNya. Amin.

Yang tidak pernah saya lupakan ajaran para wartawan senior, bahwa profesi kuli tinta (istilah jadul) dalam tugasnya adalah menyuguhkan fakta untuk diketahui masyarakat luas. Senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, fakta adalah keadaan yang benar-benar terjadi. Wartawan bukan polisi. Wartawan bukan hakim.

Saya berjanji akan menulis seri berikutnya. Kepada teman-teman wartawan, tetap semangat dan selamat berjuang. Sebagai kenangan, ada beberapa foto jadul yang saya sertakan dalam tulisan ini. (1) Meliput meletusnya Gunung Galunggung di Rancapaku dan Kubang Eceng. (2) Liputan meletusnya Gunung Kelut di mulut terowongan Neyama bersama petugas Direktorat Geologi. (3)Rapat Perwakilan PWI Besuki dan Lumajang. (4) Meliput kunjungan Presiden Soeharto saat meletusnya Gunung Semeru.

RASA AMAN LANSIA YANG TERGANGGU (salah satu isi Gema Lansia edisi 4 tahu II - 2009)


Oleh : Jatin

Membahagiakan sekali ketika membaca laporan, UHH (Usia Harapan Hidup) manusia semakin meningkat. Menurut laporan itu, meningkatnya UHH akibat dari kesejahteraan yang semakin membaik dan taraf hidup yang menggembirakan. Dibalik itu semua, ada sesuatu yang memprihatinkan. Rasa aman para lansia yang belum sepenuhnya mereka nikmati. Banyak kejadian dan kekerasan yang menimpa para lansia. Baik di jalan maupun di rumah.

Pasangan suami isteri Pawiro Seniti (80 tahun) dan Sujinah (75 tahun) usai lebaran tahun lalu menjadi korban pembunuhan. Penduduk Desa Purwogondo, Sukoharjo itu tewas akibat mulutnya dibungkam selendang sehingga mereka kekurangan oksigen. Keduanya ditemukan tewas di dapur dan diikat dengan tali rafia. Pelaku ingin berhasil menguasai dua cincin emas dan kalung korban.

Pemilik toko Sari Bina di Jalan Katamso 129 Kecamatan Pesantren, Kediri, Bejo Wijoyo (70 tahun) dan isterinya Handayani (65 tahun), malam Rabu, 4 Nopember 2008, kedatangan perampok yang meghajarnya sekaligus membunuhnya. Korban menolak memberinya uang. Perampok naik pitam kemudian menusuk leher kanan dan kiri korban korban. Sedang isterinya dipukul rahang kanan sehingga robek. Perampok berhasil membawa kabur hasil penjualan toko milik korban Rp. 300 ribu dan tidak berhasil membawa harta lainnya. Pasutri lansia itupun tewas.

Aksi perampokan menimpa Muntianah (70 tahun), janda lansia asal Desa Rowomarto, Kecamatan Patianrowo, Kabupaten Nganjuk, Minggu 12 Juli 2009 dinihari. Korban hidup sendiri dirumahnya dengan berjualan jamu. Setelah dibekap dengan bantal hingga tewas, harta benda berupa perhiasan kalung, giwang dan gelang dipreteli. Tidak hanya itu, untuk menghilangkan jejak, pelaku juga membakar mayat korban.

Di Kendari, pasangan lansia di Kelurahan Wanci, Kecamatan Wangi-wangi tewas mengenaskan. Mereka adalah Wa Papa (70) dan Wa Ahiba (55). Keduanya ditemukan tewas di kediaman mereka di Lorong Kelapa, pada Senin (8/6) lalu. Kini pelaku pembunuhan tersebut telah ditemukan polisi.

Kosim (70), kakek dari 25 cucu warga Kampung Legos, Desa Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dini hari tewas setelah dianiaya oleh seorang laki-laki yang sampai saat ini belum diketahui identitasnya. Sedangkan istrinya, Ny Enih (60), dan pembantu rumah tangganya, Imas (30), dalam kondisi kritis akibat penganiayaan itu.

Nasib suami isteri Batara Situmeang (78) dan Pena Boru Nababan (75) penduduk desa Hutaraja Habinsaran Kecamatan Sipoholon Tapanuli Utara menjadi korban pembunuhan cucu mereka. Pembunuhan dilakukan karena sang cucu tidak diluluskan ketika minta dibelikan sepeda motor. Nasib lain menimpa seorang nenek berusia 90 tahun Dari desa Ngrejo, Kecamatan Selorejo yang diperkosa Bnd, 39 tahun. Walaupun pelaku sudah ditahan polisi, tetapi kejadian tragis ini memilukan.

Emptynous syndrome.
Timbulnya gejala kekerasan yang menimpa para lansia akhir-akhir ini tidak lebih disebabkan oleh kelemahan para lansia sendiri. Hal itu disampaikan Iin Ervina, S.Psi, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhamadiyah Jember. Para pelaku kejahatan biasanya lebih muda, lebih kuat dan lebih trengginas bila dibandingkan dengan para korban yang sudah berumur dan lemah.

Lebih jauh menurut Iin Ervina, pada umumnya para orang tua lebih memilih hidup sendiri. Mereka sebenarnya tidak bermaksud menyendiri atau menghindari dari anak cucu. Tetapi mereka lebih berfikir untuk tidak ”ngrepoti” anak-anak mereka yang pada umumnya tengah membangun keluarga baru.

Para orang tua yang kebanyakan sudah lansia tidak menyadari kalau keadaan mereka sudah mengalami banyak penurunan. Fungsi panca indera mulai berkurang, kolesterol semakin meningkat seirama dengan bertambahnya umur dan berbagai macam penyakit mulai menyapa mereka. Bahkan para orang tua tidak menyadari kalau mereka mengalami emptynous syndrom, yaitu rasa sepi dan kesepian.

Nah, rasa sepi dan dalam keadaan lemah inilah yang dimanfaatkan oleh para pelaku tindak kejahatan.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Patrialis Akbar menyoroti hal ini. Terutama mengenai jenis kejahatan yang bersifat kejahatan konvensional yang masih terbengkali dan belum terantisipasi secara maksimal oleh Polri. “Hampir setiap hari kita mendengar terjadinya perampokan, pembunuhan, premanisme dan semacamnya yang belum terantisipasi, yang kedepan perlu ada konsep yang lebih tegas dalam mengatasi jenis kejahatan-kejahatan konvensional,” ungkapnya.

Bahkan, masih banyak masyarakat yang takut dan alergi untuk melaporkan suatu kasus kepada kepolisian, karena dikhawatirkan akan besarnya biaya yang akan ditanggulangi.

Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso mengatakan, Polri tidak akan mengabaikan kejahatan konvensional. “Kejahatan konvensional menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat, dimana dari tahun ketahun kejahatan tersebut mengalami peningkatan. Untuk itu, sesuai dengan amanat UU No.2/2002 kami akan bersikap tegas melalui konsep upaya prefentif, yakni pencegahan,” tegas Kapolri.

Itulah sebabnya Iin Ervina menyarakan agar para lansia tetap beraktifitas. Baik aktifitas fisik maupun psikis. Dengan aktifitas yang dibangun oleh para orang tua, maka hal ini akan menghambat kolesterol yang semakin meningkat dan menumbuhkan cortisol yang ada dalam tubuh. Dengan aktifitas dan latihan fisik dan psikis yang teratur dan terukur, para lansia ini akan lebih gesit bila dibandingkan dengan lansia yang hanya duduk manis menikmati hidup apa adanya.

MEMBUAT AMAN RUMAH
Sebuah tulisan pernah saya baca. Bahwa rasa aman tidak mungkin bisa dibeli. Rasa aman itu bisa di dapat dari pola pikir yang benar, perasaan damai yang di jaga di dalam hati. Ketika kita melakukan hal-hal yang benar, jadi pola pikir yang benar, perasaan damai dan melakukan hal yang benar. Rasa aman bukan datang dari janji dari orang tetapi dari apa yang kita percayai di dalam hidup kita.

Ada beberapa cara yang membuat lansia merasa aman di rumah. Pertama, jangan menceritakan kepada siapa saja rencana bepergian keluar kota sekeluarga dengan meninggalkan rumah tanpa penghuni. Jika didengar oleh pihak tertentu yang memiliki niat jahat, ”pengumuman” tersebut sama saja dengan undangan bagi orang jahat.

Kedua, minta bantuan tetangga terpercaya untuk ikut memantau rumah yang ditinggalkan. Kalau berlangganan koran, jangan biarkan koran tertumpuk di teras selama beberapa hari. Titipkan pada tetangga untuk menyimpannya. Ketiga, pasang lampu luar (teras dan halaman) otomatis yang bisa menyala malam hari dan mati pada siang hari. Sehingga seolah-olah dirumah ada penghuninya.

Keempat, check and recheck sebelum pergi meninggalkan rumah. Matikan semua peralatan listrik dan cabut semua kabel dari stop kontak. Tutup keran di semua kamar mandi dan bak cuci piring, matikan kompor, serta pastikan semua jendela dan pintu berada dalam keadaan terkunci. Kelima, berikan nomor telepon darurat tetangga atau saudara terdekat yang bisa dihubungi jika terjadi sesuatu. Berikan nomor tersebut kepada tetangga yang dipercayai untuk membantu mengawasi rumah selama bepergian.


JANGAN REMEHKAN ORALIT


Oleh : Imam Soebagio

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, setiap pulang kampung menjelang lebaran, saya pasti membawa bekal oralit yang cukup banyak. Pasalnya, setiap lebaran banyak orang dewasa dan anak-anak yang sakit perut, mules dan diare. Hal ini disebabkan oleh kue dan makanan lebaran yang mereka santap saat unjung-unjung. Jajanan dan minuman di desa sangatlah menarik, berwarna-warni, beraroma merangsang, segar dan enak. Kalau kita tidak bisa menahan diri untuk menikmati makanan dan minuman saat lebaran, diare pasti menghampiri kita.

Banyak orang menganggap diare sebagai sakit perut biasa akibat salah makan. Gejala umum penyakit diare ditandai rasa mulas dan kerap buang air besar (BAB). Untuk menghentikan diare, selain dengan obat mampet harus ada upaya mengganti cairan tubuh yang hilang. BAB berlebihan menyebabkan orang kehilangan cairan tubuh dengan cepat. Akibat sebagian besar kotoran yang keluar berbentuk cairan.

Kondisi penderita diare bisa lebih parah jika cairan tubuh juga terbuang melalui mulut (muntah-muntah). "Jika cairan tubuh tidak segera tergantikan, akan terjadi gangguan keseimbangan tubuh yang serius," ungkap Soedjatmiko, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Kekurangan cairan dapat mengurangi aliran darah ke seluruh tubuh. Akibat volume cairan darah dalam tubuh ikut "terkuras" keluar menyebabkan tekanan darah juga menurun. Akibat turunnya tekanan darah, pasokan darah ke organ-organ vital seperti otak, ginjal, jantung, dan paru-paru berkurang. Maka, organ tubuh kekurangan oksigen, nutrisi, dan elektrolit. Kalau dibiarkan, lama-kelamaan organ tubuh tersebut tak berfungsi baik sehingga bisa menyebabkan kematian.

Murah meriah.
Diare bisa disebabkan virus maupun bakteri. Virus penyebab diare paling banyak di Indonesia adalah Rotavirus, sedangkan bakteri penyebab diare terbanyak adalah E.Coli, Salmonela, dan Vibriokolera. Kuman Rotavirus dan Vibriokolera menyebabkan pengeluaran cairan paling banyak dibandingkan dengan kuman lain. Di Indonesia, diare paling banyak disebabkan Rotavirus. Kuman diare masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman. Kuman diare yang berkembang biak dengan cepat ini menyebar ke berbagai tempat melalui lalat atau kecoa.

Soedjatmiko mengingatkan, kata kunci penanganan diare adalah menjaga agar cairan tubuh yang hilang bisa segera tergantikan. Jika diare hanya disertai BAB, untuk penggantian cairan tubuh segeralah minum oralit. Oralit adalah larutan yang mengandung elektrolit, asam basa, dan kalori. Ketiga komponen ini terkandung dalam cairan tubuh yang terbuang saat diare.

Oralit adalah obat murah meriah, sederhana tetapi ampuh untuk mengobati segala gangguan terhadap perut. Larutan ini sering disebut rehidrasi oral. Mempunyai komposisi campuran Natrium klorida, kalium klorida, glukosa anhidrat dan natrium bikarbonat. Larutan rehidrasi oral ini mempunyai nama generik oralit dan larutan ini sekarang dijual dengan berbagai merek dagang seperti Alphatrolit®, Aqualyte®, Bioralit® dan Corsalit®.

Kalau tak ada oralit, untuk mengganti cairan tubuh, bisa diganti dengan memberi larutan gula-garam. Larutan ini dibuat dengan melarutkan satu sendok makan penuh gula pasir dan satu pucuk sendok garam dalam satu gelas air matang.

Yang paling penting, oralit harus bisa diserap usus. Penyerapan juga akan mendorong kembali air dan garam yang disekresi usus, untuk kemudian keluar lagi sebagai muntahan atau diare. Mekanisme pendorongan ini bisa mendorong kembali sekresi air dan elektrolit, sehingga muntah/diare otomatis berkurang.

Ada yang perlu diperhatikan saat pemakaian oralit. Minumlah oralit sedikit demi sedikit. 2-3 teguk dan berhenti 2-3 menit, untuk memberi kesempatan oralit diserap oleh usus. Selama masih berak/muntah oralit harus diminum perlahan2 terus sampai berhenti Bila oralit diteguk habis sekaligus 1 gelas, maka cairan ini akan otomatis keluar lagi sebagai muntahan yang 'proyektil'. Akibatnya, tidak mencapai tujuan pengobatan dan justru menjadi lebih parah dehidrasinya.

Takaran pemberian oralit untuk mengatasi diare (3 jam pertama) :
umur

ANTARA UNJUNG-UNJUNG DAN UANG KARTAL


Oleh : Imam Soebagio

Ada tradisi yang tak akan dilewatkan oleh anak-anak pada setiap lebaran. Setelah sebulan berpuasa ramadhan, datanglah 1 Syawal 1430 Hijriah. Beramai-ramai menjalankan ibadah sholat Ied, kemudian langsung pulang.. Di rumah sudah menanti eyang, bapak dan ibu. Masing-masing kemudian menghaturkan sembag sungkem untuk memohon maaf dan memohon doa agar diberikan panjang umur dan kelancaran bersekolah. Kemudian menyantap makan pagi.
Acara yang diimpi-impikan sejak memasuki bulan suci ramadhan tiba. Tanpa dikomando, anak-anak saling menghampiri para kroni mereka. Setelah berkumpul sekitar lima , tujuh atau sepuluh anak, merekapun berangkat. Mengunjungi orang-orang tua di kampung. Namanya unjung-unjung.

Mungkin istilah ini berasal dari kata kunjung atau mengunjungi. Sehingga timbul istilah unjung-unjung. Di rumah-rumah yang mereka kunjungi, mereka biasanya disuguhi kue yang enak-enak dan minuman yang segar-segar. Pulangnya, mereka masing-masing diberi sangu. Biasanya sangu uang baru. Trend-nya tahun ini adalah lembaran seribua, dua ribuan uang baru, lima ribuan sampai sepuluh ribuan.

Para orang tua di kampung-kampung di Jember senang didatangi anak-anak pada saat begini. Ada yang mengatakan pemberian saat unjung-unjung merupakan sodaqoh yang wajib saat lebaran. Untuk menyenangkan anak-anak. Mereka seolah berlomba membagikan uang baru. Anak-anakpun senang. Sesuai kemajuan jaman, hasil unjung-unjung mereka gunakan untuk membeli baju baru, buku atau sepatu baru.

Percaya atau tidak, menjelang lebaran 2009, selama sebulan masyarakat telah melakukan penukaran uang kartal bernilai Rp. 1,78 milyar. Penukaran yang dilakukan di Bank Indonesia Surabaya. Uang kartal adalah istilah dari pecahan uang kertas dan uang logam. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, penukaran uang kartal tahun ini mengalamikenaikan 72 persen.

Menurut Kabid Sistem Pembayaran Bank Indonesia Surabaya Johanes Wiwoho, untuk penukaran pecahan Rp. 2 ribuan mencapai Rp. 44,8 milyar. Hal ini disebabkan terbitnya pecahan Rp. 2 ribuan baru. Kemudian menyusul pecahan Rp. 1.000 yang mencapai Rp. 7,5 milyar. Penukaran uang seribuan ini mengalami penurunan Rp. 2,3 milyar bila dibandingkan pada tahun 2008 sebesar Rp. 10,8 milyar.

Pecahan
Rp. 1.000 2008 :Rp. 10,8 milyar, 2009 : Rp. 7,5 milyar
Rp. 2.000 2009 : Rp. 44,8 milyar
Rp. 5.000 2008 : Rp. 41,1 milyar, 2009 : Rp. 57 milyar
Rp. 10.000 2008 : Rp. 1,3 milyar, 2009 : Rp. 48,3 milyar
Rp. 20.000 2008 : Rp. 10,4 milyar, 2009 : Rp. 32,5 milyar
Rp. 50.000 2008 : Rp. 2,8 milyar, 2009 : Rp. 2,9 milyar
Rp. 100.000 2008 : Rp. 2,2 milyar, 2009 : Rp. 2,8 milyar