Oleh : Pakde Bagio
Pagi ini saya mendapat pejaran sangat berharga. Ketika mengantar isteri berangkat kerja, di ujung gang tempat kami tinggal saya bertemu seorang nenek tua. Menyunggi sekitar 8 tampah. Sambil tertatih-tatih sang nenek menjajakan tampah dengan berteriak-teriak kencang. Geddeng, geddeng. Geddeng, berasal dari bahasa Madura yang berarti tampah, atau tempeh atau nyiru.
Setengah jam kemudian saat saya kembali, nenek tua itu masih ada di ujung gang satunya. Beberapa ibu mengerubutinya bertanya-tanya dan sebagian lagi membeli nyiru dari sang nenek. Harganya sepuluh ribu rupiah. Harga yang kurang lazim, sebab nyiru seperti itu biasanya dijual paling mahal cuma lima ribu. Para ibu muda yang membeli nyiru itu tanpa menawar lagi karena iba melihat sang nenek.
“Leher saya sakit”, kata sang nenek yang menyunggi nyiru itu. Seorang ibu muda yang lain menawarkan nasi untuk makan pagi. Si nenek yang ternyata bernama Buinah itu menolak karena sedang berpuasa. Nenek tua itu terharu karena para pembeli nyiru dagangannya tanpa menawar. Beberapa kali air matanya menetes.
Dari pembicaraannya yang terbata-bata diketahui bahwa Buinah ini berasal dari Gudeng Ko’ong, suatu perkampungan dekat Wirolegi di batas kota Jember. Buinah tidak punya anak dan cucu, bahkan suaminya sudah lama meninggal. Hidup sebatang kara dilakoninya dengan makan yang harus dicarinya sendiri. Nyiru dagangannya itu dia dapatkan dari tetangganya yang tukang membuat nyiru.
Masih terngiang ditelinya saya suaranya yang melengking. Geddeng, geddeng. Trenyuh hati ini melihat penderitaan lansia yang satu ini. Seperti halnya dengan lansia-lansia lain yang harus mencari sesuap nasi untuk makannya sendiri. Tak pernah tersentuh BLT, kalau ada raskin harus beli dengan sejumlah uang yang cukup banyak dan gubug reyot tempatnya bernaung tak pernah tersenggol bedah rumah.
Rasa keadilan belum pernah menyentuhnya. Sejahtera apa lagi. Buinah seperti banyak lansia lainnya harus tertatih-taih dijalanan agar bisa hidup. Departemen Sosial yang pernah dibubarkan pemerintah, kemudian dibentuk kembali ternyata tak banyak menolong Buinah-Buinah. Departemen yang menteri dan para pejabatnya terdahulu masuk penjara karena korupsi, sampai saat ini lebih senang mengurus bencana alam. Ketimbang mengurus lansia semacam Buinah.
Dalam berbagai seminar dan lokakarya disebutkan bahwa lantaran kesejahteraan masyarakat semakin membaik, katanya, angka lansia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Salah satu angka yang dikutip dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur disebutkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 4.202.988 lansia. Atau 11,11 % dari jumlah penduduk Jawa Timur yang 37.834.003 jiwa. Sementara itu, lansia yang terlantar dan menjadi tindak kekerasan atau diperlakukan salah pada tahun 2010 berjumlah 134.490 jiwa (0,36%).
Saya tidak tahu apakah Buinah termasuk lansia terlantar atau bukan. Karena dia masih punya gubug dan bukan korban kekerasan. Atau, apakah Buinah tergolong lansia potensial karena masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau jasa. Buinah menjalani kehidupan menjual nyiru supaya bisa makan untuk dirinya sendiri. Dia berjualan karena tidak punya siapa-siapa, tidak punya apa-apa dan tidak mau tergantung pada orang lain.
Faktanya, dalam kesendirian dan ketuaannya, untuk menyeberang jalan saja Buinah membutuhkan waktu beberapa menit. Bukan hitungan detik karena jalannya sudah tertatih-tatih agak sempoyongan dan pandangannya sudah kabur. Atau Buinah harus menunggu belas kasihan orang lain untuk menyeberangkannya.
Menurut buku, kesejahteraan lansia adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir bathin yang memungkinkan para lansia memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik – baiknya dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Akankah kita hanya kasihan saja, iba atau prihatin melihat kenyataan seperti ini. Atau barangkalai sudah waktunya instansi terkait turun tangan mengatasinya. Semoga.