Oleh : Imam Soebagio
Kalau melihat wajahnya yang selalu ceria, senyumnya yang selalu tersungging, rasanya lansia ini bukan termasuk orang yang susah. Dari rumahnya di Sukowirjo, Kecamatan Jelbug, setiap hari Buk Lis, begitu panggilan akrab Buna, harus ke kota. Maksudnya ke Jember. Masuk gang keluar gang, dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Untuk mendendangkan lirik lagunya yang menawan dalam bahasa Madura dengan iringan sebuah terbang. Ngamen.
Lebih dari 25 tahun pekerjaan ngamen ini dilakoninya. Dikatakan pekerjaan, karena dari ngamen dia menghasilkan uang. Untuk makan. Modalnya juga tidak sedikit, untuk biaya transportasi. Dari rumahnya di Dukuh Gudang Berek (barat, maksudnya) naik ojek ke Jelbug dengan ongkos Rp. 4 ribu. Dari Jelbug ke terminal Arjasa ongkos colt-nya Rp. 2 ribu. Sedangkan dari Arjasa ke kota ongkos lin Rp. 3 ribu. Total ongkos kendaraan saja setiap hari pulang pergi sebesar Rp. 18 ribu.
Itulah sebabnya, kalau perolehan ngamennya belum mencapai Rp. 25 ribu, Buna belum beranjak pulang. Walaupun hari hujan atau menjelang magrib sekalipun. Sisa ongkos yang sekitar Rp. 7 ribu itulah yang untuk makan. Makan di rumah. Sebab tabu baginya untuk makan di jalan saat bekerja, kecuali diberi makan orang.
Menurut Buna yang sudah dua kali menerima tunjangan BLT, dari dulu sampai sekarang, perolehan mengamennya rata-rata Rp. 25 ribu sehari. “Kalau jam sebelas siang sudah dapat segitu, ya pulang”, katanya sambil tersenyum. Bedanya, kalau sekarang hasil mengamennya hanya bisa untuk beli beras setengah kilo, ikan asin dan sedikit bumbu. Kalau dulu, sisa ongkosnya bisa untuk beli beberapa kilo beras dan lauk-pauk. Sehingga Buna tidak harus setiap hari ke kota untuk ngamen.
Setengah kilo.
Menurut data yang tercatat dalam KTP, Buna dilahirkan pada 1 Juli 1945. Jadi usianya kini 64 tahun. Walaupun demikian, jalannya masih kokoh. Wajahnya selalu berbedak dengan lipstik merah yang menghias bibirnya. Senyumnya selalu tersungging. Dandanan-nya selalu rapi, bahkan pakaian yang dikenakannya seperti model masa kini. Ketika ditanya, blus dan rok-nya koq bagus-bagus. Buna menjawab, dia sering diberi oleh seorang ibu warga Perumahan Semeru.
Buk Lis alias Buna ditinggal mati suaminya beberapa tahun lalu. Dia kini tinggal sendiri di sebuah gubug reyot di RT 01 RW 03 Gudang Berek. Itulah sebabnya, dia minta kepada Pak Lurah agar rumahnya direhab melalui “bedah rumah”. Di RT dimana dia tinggal, masih ada 3 rumah reyot yang belum tersentuh “bedah rumah”. Kata Pak Lurah, sabar dulu.
Sementara itu anak tunggalnya, Samsuri, yang sudah berumah tangga juga termasuk keluarga miskin. Pekerjaannya buruh tani, punya anak seorang perempuan yang diberi nama Holip Watusa’diah. Selepas SD, cucu Buna dinikahkan dengan seorang kuli gudang. Anak dan cucu saya juga orang susah. “Tetapi rumahnya sudah diperbaiki oleh bedah rumah”, kata Buna.
Lirik lagu Buna sangatlah menyentuh. Itulah sebabnya banyak orang kota yang simpati kepadanya. Buna juga faham terhadap situasi kini. Andaikatapun ada orang yang minta maaf, mungkin karena tidak punya uang receh atau tidak punya uang, Buna selalu melantunkan lagunya sampai tuntas. Bahkan dia yang minta maaf.
Semangkah mak etambik.
Permen cek meranah.
Senajen dikah tak aberik.
Langkong dimen saporanah
Sebenarnya Buna bukanlah penyanyi kentrung. Namun lantaran saat itu, sekitar 25 tahun silam keluarganya tidak punya penghasilan, maka Buna belajar menabuh kentrung. Disebut orang terbang atau rebana. Dia belajar pada pengamen dari Kali Tapen. Setelah bisa menabuh kentrung dan menyanyikan dua lagu, maka Buna memulai profesinya sebagai pengamen. Kini sudah banyak lagu yang dia ciptakan untuk menghibur masyarakat.
Sepo’on mon perengah.
Sarkajeh e-taleenah.
Mator kaso’on peparengah.
Der raje’eh gente’enah.
Semangka koq dibawa, permen sangat merah, walaupun anda tidak memberi, lebih dulu saya minta maaf
Sepohon pemberiannya, srikoyo diikat, terima kasih pemberiannya, mudah2an besar gantinya.
0 komentar:
Posting Komentar