Oleh : Imam Soebagio
Karena tidak bakat saja, dia pensiun sebagai tentara. Kemudian beralih profesi sebagai petani. Tetapi dia tidak pernah membayangkan kalau bisa punya anak delapan, karena dia anak tunggal. Bahkan dia juga tidak membayangkan kalau semua anaknya bisa menjadi “orang” walaupun pangkatnya ketika pensiun cuma sersan mayor. Dia tak suka menyebut pangkatnya, tetapi dia bangga disebut prajurit. Itu yang Gustino (87 tahun) kepada saya yang mengunjunginya beberapa waktu lalu.
Tidak seperti tutur kata prajurit lain yang selalu berapi-api saat berbicara, Gustino menjawab pertanyaan saya dengan kalem. Orangnya sangat bersahaja, wawasannya sangat luas, enak diajak ngomong, apalagi kalau menyangkut masalah pertanian. Ditemui di kediamannya di Jalan Kartini 29 Jember, Gustino memulai kisah petualangannya sebagai prajurit.
Dilahirkan di Tanggul, Jember pada 18 Mei 1922 dari seorang ibu bernama Bunira. Isteri seorang SS (pegawai kereta api) di stasiun Tanggul bernama Soepono. Menamatkan sekolah rakyat di Banyuwangi tahun 1936, karena bapaknya selalu berpindah-pindah tempat tugasnya. Kemudian akhirnya memilih jadi petani. Maka Gustino yang anak tunggal ini sekolah tani di Sukun, Malang.
Lantaran teman sekolah di Sukun berasal dari berbagai daerah, maka Gustino usai sekolah tani bertolak ke Lampung. Atas provokasi teman-temannya dari sana, Gustino berangkat ke Lampung karena katanya disana banyak tanah yang bisa digarap. Ternyata benar, petani di Lampng saat itu suka berpindah-pindah. Membabat hutan, menanam padi tiga kali, kemudian lahan itu mereka tinggalkan. Dan, lahan yang mereka tinggalkan itu Gustino olah dengan cara lebih modern bersama teman-temannya.
Saudara tua.
Hasilnya menggembirakan. Tetapi hal ini tidak lama mereka rasakan, sebab tiba-tiba saja “saudara tua” datang. Ternyata, mereka sama seperti Belanda, menjajah negeri ini. Maka petani padi diwajibkan menanam jarak untuk mendukung perang Asia Timur Raya. Kami sebagai ”saudara muda” nurut saja, walaupun nggrundel, kata Gustino tertawa.
Sehari setelah Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Gustino menerima kabar dari SS (pegawai kereta api) bahwa Indonesia merdeka. Beberapa waktu kemudian Gustino bergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat). Kemudian bergerilya melawan Jepang. Melawan aksi polisionil Belanda dan tidur di hutan selama bertahun-tahun.
Mulai dari hutan Pringsewu, Metro, Kotabumi, Lampung Selatan dan sekitarnya. Pasukannyapun berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan TRI (Tentara Republik Indonesia). Menurut Gustino, ada yang lucu saat itu mengapa para pemuda cepat-cepat bergabung dalam BKR. Dari telegram SS diperoleh kabar bahwa para pemuda yang belum bergabung dengan BKR dikirimi bedak oleh para pemuda Bandung.
“Daripada dikirimi bedak seperti banci, maka kami buru-buru bergabung dengan BKR untuk angkat senjata”, katanya terbahak-bahak. Maka petani dan pemuda Tanjung Karang jadi tentara dengan memanggul senjata. Bergerilya melawan Belanda, terutama saat Belanda ”nunut” tentara Sekutu.
Anak Pak Lurah.
Belanda pun akhirnya bisa diusir dari Tanjung Karang. Keamanan berangsur-angsur pulih. Saat cease fire (gencatan senjata) tahun 1949, para gerilya ini disalurkan ke berbagai kesatuan yang ada di Lampung. Saya terpilih menjadi anggota CPM di Tanjung Karang karena dekat kediaman saya. Saat itu komandannya adalah Kapten CPM Soeratno. Saya ingat, yang jadi Komandan Korem saat itu adalah Kolonel Ryakudu. “Bapaknya Ryamizard Ryakudu, Jenderal itu lho”, kata Gustino menjelaskan.
Dalam meniti karir sebagai prajurit, Gustino baru berfikir untuk menikah. Ternyata di Tanjung Karang, Lurah Kedung Tataan punya anak gadis. Banyak pemuda disana menaksir sang gadis berdarah Jawa (Purworejo) yang benama Suwarsih ini. Tetapi para penaksir itu kalah bersaing dengan Gustino. “Selain saya tampan, dipinggang saya ada pistol”, katanya tertawa keras.
Saya kaget mendengar tawanya yang keras meledak-ledak lansia ini. Nampaknya Gustino bernostalgia. Sambil berkacak pinggang, dia peragakan pistol yang ada di pinggang kirinya. Pada saat itu para pejuang yang turun dari gunung dengan berambut gondrong, menjadi favorit masyarakat. Hahahahaha …………
Tahun 1953 sersan mayor CPM Gustino minta pensiun dan memilih jadi petani. Kemudian tahun 1970 pulang ke Jember. Menemani ibunya yang sudah sendiri karena ditinggal bapaknya yang telah meninggal dunia. Anak pak Lurah yang kini sudah jadi isterinya dibawa juga ke Jember beserta tujuh anak mereka. Dan di Jember masih juga ditambah satu anak lagi.
Alhamdulilah kedelapan anak saya sudah jadi “orang” semua. Empat anak laki-laki sudah sarjana, sedang keempat anak perempuan saya sarjana muda, kecuali yang seorang lulusan SMA. Mereka mengabdikan diri dengan karir masing-masing. Lebih meriah lagi, keluarga saya dianugerahi 24 cucu dan 4 cicit, kata Gustino. Sayang, isteri Gustino meninggal dunia awal 2009 lalu. Tetapi Gustino masih tetap sehat, membuat sket lukisan dan merawat bunga di halaman rumahnya.
Selain mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan kepada keluarga Gustino, untuk menyekolahkan kedelapan anak-anaknya, dia tidak hanya mengandalkan pensiunannya. Gustino masih bertani sampai anak-anaknya mentas. Bahkan pada awal-awal pindah ke Jember, Gustino menjadi sopir taxi. “Saya tidak malu, karena itu memang tanggung jawab saya”, kata Gustino menutup pembicaraan.
Gustino bangga jadi prajurit. Gustino bangga ikut bertempur melawan penjajah mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Gustino dalam usianya yang uzur cuma titip agar anak cucunya mempertahankan NKRI dan mengisi kemerdekaan sesuai tugas yang diemban masing-masing. Merdeka teriaknya sambil mengepalkan tinjunya.
Tidak seperti tutur kata prajurit lain yang selalu berapi-api saat berbicara, Gustino menjawab pertanyaan saya dengan kalem. Orangnya sangat bersahaja, wawasannya sangat luas, enak diajak ngomong, apalagi kalau menyangkut masalah pertanian. Ditemui di kediamannya di Jalan Kartini 29 Jember, Gustino memulai kisah petualangannya sebagai prajurit.
Dilahirkan di Tanggul, Jember pada 18 Mei 1922 dari seorang ibu bernama Bunira. Isteri seorang SS (pegawai kereta api) di stasiun Tanggul bernama Soepono. Menamatkan sekolah rakyat di Banyuwangi tahun 1936, karena bapaknya selalu berpindah-pindah tempat tugasnya. Kemudian akhirnya memilih jadi petani. Maka Gustino yang anak tunggal ini sekolah tani di Sukun, Malang.
Lantaran teman sekolah di Sukun berasal dari berbagai daerah, maka Gustino usai sekolah tani bertolak ke Lampung. Atas provokasi teman-temannya dari sana, Gustino berangkat ke Lampung karena katanya disana banyak tanah yang bisa digarap. Ternyata benar, petani di Lampng saat itu suka berpindah-pindah. Membabat hutan, menanam padi tiga kali, kemudian lahan itu mereka tinggalkan. Dan, lahan yang mereka tinggalkan itu Gustino olah dengan cara lebih modern bersama teman-temannya.
Saudara tua.
Hasilnya menggembirakan. Tetapi hal ini tidak lama mereka rasakan, sebab tiba-tiba saja “saudara tua” datang. Ternyata, mereka sama seperti Belanda, menjajah negeri ini. Maka petani padi diwajibkan menanam jarak untuk mendukung perang Asia Timur Raya. Kami sebagai ”saudara muda” nurut saja, walaupun nggrundel, kata Gustino tertawa.
Sehari setelah Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Gustino menerima kabar dari SS (pegawai kereta api) bahwa Indonesia merdeka. Beberapa waktu kemudian Gustino bergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat). Kemudian bergerilya melawan Jepang. Melawan aksi polisionil Belanda dan tidur di hutan selama bertahun-tahun.
Mulai dari hutan Pringsewu, Metro, Kotabumi, Lampung Selatan dan sekitarnya. Pasukannyapun berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan TRI (Tentara Republik Indonesia). Menurut Gustino, ada yang lucu saat itu mengapa para pemuda cepat-cepat bergabung dalam BKR. Dari telegram SS diperoleh kabar bahwa para pemuda yang belum bergabung dengan BKR dikirimi bedak oleh para pemuda Bandung.
“Daripada dikirimi bedak seperti banci, maka kami buru-buru bergabung dengan BKR untuk angkat senjata”, katanya terbahak-bahak. Maka petani dan pemuda Tanjung Karang jadi tentara dengan memanggul senjata. Bergerilya melawan Belanda, terutama saat Belanda ”nunut” tentara Sekutu.
Anak Pak Lurah.
Belanda pun akhirnya bisa diusir dari Tanjung Karang. Keamanan berangsur-angsur pulih. Saat cease fire (gencatan senjata) tahun 1949, para gerilya ini disalurkan ke berbagai kesatuan yang ada di Lampung. Saya terpilih menjadi anggota CPM di Tanjung Karang karena dekat kediaman saya. Saat itu komandannya adalah Kapten CPM Soeratno. Saya ingat, yang jadi Komandan Korem saat itu adalah Kolonel Ryakudu. “Bapaknya Ryamizard Ryakudu, Jenderal itu lho”, kata Gustino menjelaskan.
Dalam meniti karir sebagai prajurit, Gustino baru berfikir untuk menikah. Ternyata di Tanjung Karang, Lurah Kedung Tataan punya anak gadis. Banyak pemuda disana menaksir sang gadis berdarah Jawa (Purworejo) yang benama Suwarsih ini. Tetapi para penaksir itu kalah bersaing dengan Gustino. “Selain saya tampan, dipinggang saya ada pistol”, katanya tertawa keras.
Saya kaget mendengar tawanya yang keras meledak-ledak lansia ini. Nampaknya Gustino bernostalgia. Sambil berkacak pinggang, dia peragakan pistol yang ada di pinggang kirinya. Pada saat itu para pejuang yang turun dari gunung dengan berambut gondrong, menjadi favorit masyarakat. Hahahahaha …………
Tahun 1953 sersan mayor CPM Gustino minta pensiun dan memilih jadi petani. Kemudian tahun 1970 pulang ke Jember. Menemani ibunya yang sudah sendiri karena ditinggal bapaknya yang telah meninggal dunia. Anak pak Lurah yang kini sudah jadi isterinya dibawa juga ke Jember beserta tujuh anak mereka. Dan di Jember masih juga ditambah satu anak lagi.
Alhamdulilah kedelapan anak saya sudah jadi “orang” semua. Empat anak laki-laki sudah sarjana, sedang keempat anak perempuan saya sarjana muda, kecuali yang seorang lulusan SMA. Mereka mengabdikan diri dengan karir masing-masing. Lebih meriah lagi, keluarga saya dianugerahi 24 cucu dan 4 cicit, kata Gustino. Sayang, isteri Gustino meninggal dunia awal 2009 lalu. Tetapi Gustino masih tetap sehat, membuat sket lukisan dan merawat bunga di halaman rumahnya.
Selain mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan kepada keluarga Gustino, untuk menyekolahkan kedelapan anak-anaknya, dia tidak hanya mengandalkan pensiunannya. Gustino masih bertani sampai anak-anaknya mentas. Bahkan pada awal-awal pindah ke Jember, Gustino menjadi sopir taxi. “Saya tidak malu, karena itu memang tanggung jawab saya”, kata Gustino menutup pembicaraan.
Gustino bangga jadi prajurit. Gustino bangga ikut bertempur melawan penjajah mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Gustino dalam usianya yang uzur cuma titip agar anak cucunya mempertahankan NKRI dan mengisi kemerdekaan sesuai tugas yang diemban masing-masing. Merdeka teriaknya sambil mengepalkan tinjunya.
0 komentar:
Posting Komentar