Oleh : Pakde Bagio
Tiada kemeriahan untuk memperingati hari jadi Jember. Bukan lantaran hujan lebat yang mendera Jember selama beberapa hari ini. Bukan pula lantaran Jember masih diguyur abu vulkanik Gunung Bromo yang menyapa sejak beberapa minggu sebelumnya. Hari jadi Jember ke-82 ditandai dengan upacara bendera (3/1) dengan Irup Pejabat Bupati Drs. Teddy Zarkasi. Hanya itu.
Sebagai warga Jember, saya merenung dan bertanya dalam hati kenapa bisa begini. Saya adalah warga pendatang. Namun tidak terasa, pada 4 Januari 2011 saya sudah hampir 54 tahun tinggal di Jember. Masa yang cukup lama menjadi penghuni kabupaten ini sekaligus mengamati Jember, sebuah kota maju di Jawa Timur. Saat itu Bapak saya dipindah-tugaskan dari kota karesidenan Bondowoso ke kota kabupaten Jember. Ketika itu usia saya sekitar 12 tahun dan masih duduk di kelas 4 sekolah rakyat. Sampai sekarang saya beranak-pinak di Jember.
Ketika ada teman yang minta saya untuk menulis sesuatu mengenai Jember, saya tidak ingat apa saja prestasi bupati yang menjadi pemimpin daerah surplus ini. Saya berusaha menggali memori ingatan. Untuk mengingat dan mencatat beberapa hal penting.
Kotoran kuda.
Pada awal memerintah Jember (1957 – 1959) Bupati R. Soedjarwo, dikenal dengan panggilan akrab Pak Djarwo, mengumpulkan botol kosong dan koran bekas. Rakyat Jember diminta mengumpulkannya untuk membiayai pembangunan SMA Negeri, SMEA , GNI, dan Unita (Universitas Tawang Alun) yang kelak menjadi Universitas Jember. Itulah sebabnya Bupati R. Soedjarwo dikenal sebagai ”Bupati Botol Kosong”.
Selain itu kota Jember mulai ditertibkan dan dipercantik. Tidak boleh lagi ada kotoran kuda dan puntung rokok dijalanan. Caranya, dibelakang kuda setiap dokar (andong) wajib diberi karung goni agar kotoran kuda tidak jatuh kejalananan dan tertampung di karung penampung. Sebab kuda memang suka membuang kotoran di sebarang tempat, bahkan sambil berlari sekalipun.
Upaya lain untuk membuat Jember cantik adalah membebaskan jalanan dari puntung rokok. Setiap becak dan di tiap pohon yang tumbuh di dalam kota wajib diberi kaleng bekas susu untuk asbak para perokok. Puntung rokok dan bekas bungkus rokok dihimbau untuk dimasukkan kedalamnya dan tidak dibuang di sebarang tempat. Masyarakat Jember memang dikenal sebagi perokok berat, karena tembakau merupakan hasil produksi petani setempat.
Pada pemerintahannya yang kedua (1961 – 1964), setelah dua tahun sebelumnya diganti Moh. Djojosoemardjo, Pak Djarwo membuat gebrakan baru. Dia menyulap kampung Tegalboto yang terisolir di sebelah timur Sungai Bedadung menjadi satelit kota. Tadinya kalau akan ke Tegalboto, akses masuk Desa Sumbersari ini harus menggunakan getek (rakit bambu) di Pagah. Atau harus memutar lewat Gladag Kembar (Jembatan Kembar).
Hal itu dilakukan Pak Djarwo untuk memberi ruang baru bagi perkembangan Universitas Tawang Alun yang pada tahun 1963 dinegerikan dengan nama Universitas Brawijaya (Malang) Cabang Jember. Sebagai bagian untuk menjadikan Jember sebagai Kota Pendidikan. Setahun kemudian tepatnya 9 November 1964, universitas ini dinyatakan ”berdiri sendiri” dengan status ”negeri” dengan nama Universitas Jember. Kelak, kampus Universitas Jember secara ”bedol desa” diboyong ke Kampus Tegalboto. Dan Ternyata Tegalboto kini sudah bukan menjadi satelit kota, tetapi merupakan bagian kota yang paling padat di Jember.
Gajah ndekem.
Berikutnya saya ikuti perkembangan Jember yang dipimpin Bupati Abdulhadi. Sebelum menjabat Bupati selama sebelas tahun (1968 – 1979) cukup banyak yang dilakukan bupati yang sebelumnya menjabat sebagai Dandim 0824 Jember. Modal dasar itulah yang membuat Bupati Abdulhadi tancap gas membangun Jember dengan sesantinya ”Ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah”.
Dia perintahkan agar semua desa memiliki balai desa yang bagus. Karena dengan adanya pusat pemerintahan yang representatif, baik gedung maupun administrasinya akan tercipta pemerintahan yang bagus pula, kata Abdulhadi. Wibawa pemerintah pun akan terangkat dan loyalitas masyarakatnya juga semakin meningkat. Sejak saat itu, stempel desa tidak boleh disimpan di saku Kepala Desa yang dibawa kemana-mana.
Bahkan rumah dinas bupati Jember disulap menjadi gedung Pemda Kabupaten berlantai dua. Gedung bertingkat satu-satunya di Jember bahkan yang paling bagus di eks Karesidenan Besuki.
Tidak hanya itu, diperintahkan pula agar di setiap desa dibangun Sanggar Pramuka sebagai wahana mendidik para pemuda desa untuk mandiri dan bersiap diri menghadapi tantangan masa depan. Kemudian para pemuda desa dijadikan anggora Pramuka Saka Taruna Bumi. Sementara itu di kota, dibinalah Pramuka Saka Dirgantara. Sebagai pusat aktifitas Pramuka di tingkat Kabupaten, dibangunkan gedung Lembaga Cadika di Rambigundam.
Pasar Tanjung yang tadinya kumuh dan kurang sehat ditengah kota, dibongkar. Terminal yang mengotori kota di Jalan Samanhudi dipindah ke Gebang dan dibangunkan sebuah terminal yang lebih baik, Beberapa pasar di pojok kota dan di tiap kawedanan juga dibangun sebagai sentra ekonomi rakyat. Kepada masyarakat kecil digulirkan krtedit bernama ”Candak Kulak”.
Mesjid Jamek yang kelihatan tua dipercantik dengan dibangunnya sebuah mesjid baru bernama Mesjid Al Baitul Amin. Lokasinya berseberangan dengan Mesjid Jamek di lahan bekas Kantor Kawedanan Jember. Mesjid baru ini dinilai orang sangat unik, karena dibangun dengan biaya yang diperoleh dari pengumpulan kelapa dari setiap warga Jember. Uniknya lagi, bentuk mesjid ini oleh seorang reporter TVRI diberikan julukan ”gajah ndekem” alias gajah medongkrong.
Jember Terbina.
Lain Soedjarwo, lain Abdulhadi, Soeryadi Setiawan saat menjabat sebagai Bupati Jember memiliki semangat menggebrak yang tidak kalah. Mantan Dandim 0824 Jember yang sudah faham betul karakter dan potensi Jember pagi-pagi sudah menggebrak Jember. Segera dia canangkan sesanti ”Jember Terbina”, Jember yang Tertib, Bersih, Indah, Aman. Dan mars ”Jember Terbina” yang dibuatnya, bergema sampai ke pelosok.
Dengan mengedepankan perencanaan dan pengawasan, Pak Soer, begitu panggilan akrab orang Pacitan yang memimpin Jember lima tahun (1984 – 1989) segera mengambil langkah kongkrit. Birokasi harus tertib, mulai dari pelaksanaan sampai pengawasannya. Lalu lintas, administrasi pedesaan, penyaluran pupuk, mutasi jabatan sampai kegiatan keolahragaan harus tertib pula.
Menurut Pak Soer, semua harus bersih dan indah. Bersih dari niat kotor aparaturnya, indah penataan kotanya. Termasuk penataan nama jalan di dalam kota. Maka nama jalan dalam kota dikelompokkan dalam beberapa sektor. Yakni kelompok nama Pahlawan Nasional, flora dan fauna, nama pulau dan kota, nama kebesaran Indonesia, tokoh2 Indonesia merdeka dan Pahlawan Revolusi. Ternyata identifikasi itu baru sekarang dirasakan menfaatnya.
Untuk kebersihan kota, dimobilisirlah ”pasukan kuning”. Di bidang seni dan olah raga Pak Soer tidak melupakan pembinaannya sehingga prestasi cukup tertoreh smapi tingkat provinsi dan nasional. Sangatlah disayangkan sesanti Jember Terbina semakin luntur dan pelan pelan menghilang.
Membangun desa.
Pada tahun 2005 – 2010, tampillah bupati muda yang penuh semangat. Dengan semangat yang menyala-nyala Bupati MZA Djalal tampil setelah pernah menjadi Kepala DPUD Jember dan Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Timur. Berbekal itulah MZA Djalal membangun Jember dengan sesanti dan tekad ”Membangun Desa Menata Kota”. Maka Jember pun menjadi terang benderang di malam hari harena ribuan titik lampus dipasang di seluuh pelosok kota dan desa. Dimaksudkan untuk memberikan rasa aman serta meningkatkan roda perekonomian.
Sayang, anak muda ini berurusan dengan hukum. Sehingga dalam kepemimpiannya yang kedua harus meninggalkan pendopo sebelum kepemimpinanya berlangsung seratus hari. Untuk sementara sambil menunggu proses hukum, ditetapkan sebagai Pejabat Bupati adalah Drs. Teddy Zarkasi, Msi.
Apa siapa Jember.
Berdasarkan Staatsblad nomor : 322 tanggal 9 Agustus 1928, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintahan desentralisasi di Wilayah Propinsi Jawa Timur. Diantaranya ditetapkan REGENSCHAP DJEMBER sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri. Secara resmi ketentuan ini diterbitkan oleh Sekretaris Umum Pemerintahan Hindia Belanda (De Aglemeene Secretaris) G.R. Erdbrink, pada tanggal 21 Agustus 1928. Staatsblad tersebut diberlakukan 1 Januari 1929.
Ditunjuk sebagai bupati pertama adalah Notohadinegoro. Dalam usianya ke-28 Kabupaten Jember dipimpin oleh 16 bupati. Namun demikian, R Soedjarwo menjabat sebagai bupati dua kali. Demikian juga MZA Djalal juga menjabat dua kali.
Gambar 1 : Bupati Abdulhadi
Gambar 2 : Menara air PDAM di Pasar Tanjung dan terminal bus masa lalu
Gambar 3 : Bupati pertama Jember Notohadinegoro.
1 komentar:
Salut buat pakde, tulisan bapak sangat berguna bagi saya. Ibarat cerita, tulisan pada blog saya ( (adecentre.blogspot.com)mengenai sejarah awal terbentuknya kota Djember sambungannya ada pada tulisan pakde ini. Saya tertarik untuk diskusi dengan bapak. Tanks.
Posting Komentar