Ikhlas


oleh : Imam Soebagio

Hujan disertai petir masih saja belum reda. Muzaki mengaji keras sekali, seolah tak mau kalah dengan suara hujan. Saya tidak tahu surat apa saja yang dia baca. Tetapi dari mimiknya dan mtanya yang terpejam, lansia ini terlihat khusuk sekali.


Minggu siang itu masih belum jam satu. Gerimis baru saja turun, tetapi petir di bagian utara Jember sudah bersahutan. Diikuti geludug yang tak pernh berhenti. Assalamualaikum. Terdengar suara di depan pintu pagar halaman. Menyusul seorang laki-laki kurus sambil terengah-engah. “Ngampong ngaop”, katanya dalam bahasa Madura. Artinya, numpang beteduh.
Laki-laki renta yang memegang sebuah botol dengan tas punggung dibelakangnya, masuk ke teras rumah setelah saya persilahkan. Saya salami, tangannya dingin, gemetaran. Mungkin kedinginan atau kecapekan. Nafasnya memburu, seperti habis dikejar hantu.
Kemudian hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Petir dan guruh bersahutan menakutkan. Saat itu waktu makan siang. Isteri saya pun memberikan sepiring nasi dengan lauk sebutir telor, sepotong tahu, sepotong tempe serta sayur untuk pak tua itu. Pak tua itu menolak. Terlalu banyak katanya, takut tidak habis. Saya memaksanya untuk dimakan saja. Tetapi dia tetap menolak, sebab kalau tidak habis, dibuang sayang.
Isteri saya memberikan separuh porsi buatnya. Sepiring nasi yang ditolaknya tadi saya makan, sambil menemani Pak Tua makan. Lahap sekali dia makan. Alhamdulilah, terima kasih, katanya setelah menghabiskan makannya. Mulai pagi saya belum makan, katanya lagi. Saat menyerahkan piring kosong pada saya, saya lihat tangannya tidak gemetaran. Pikir saya, mungkin tadi orang itu kelaparan.
Ternyata Pak Tua itu bernama Pak Samsul, karena anak tertuanya bernama Samsul. Namanya sendiri Muzaki, mengaku berumur 78 tahun. Muzaki berasal dari Peterongan Krajan, Kecamatan Kalibaru. Dia ke Jember menjual madu dari hasil ternak anaknya, Samsul. Dia datang ke Jember sekitar empat bulan sekali menjual madu pemberian anaknya. Hanya tiga atau empat botol. Hasil penjualannya itu untuk makan sehari-hari bersama isterinya, Mina .
Bapak tidak menerima BLT, tanya saya. Tidak, jawabnya. Andaikata saya menerima BLT, saya pasti punya uang. Punya modal untuk jualan apa saja di Kalibaru. Tidak seperti menjual madu. Harus ke Jember. Itupun harus jalan kaki ke perumahan-perumahan. Belum lagu ongkos bus Kalibaru – Jember pulang balik dan ongkos angkot di Jember sebesar Rp. 20 ribu. Pulangnya masih naik ojek ke Peterongan Oleh karena itu, kalau tidak lapar betul dia tidak perlu beli nasi saat ider madu.
Satu botol madu dia jual Rp. 25 ribu. Dari hasil penjualan tiga atau empat botol madu yang hanya empat bulan sekali inilah Muzaki memberi makan isteri dan anaknya. Di rumah hanya ada se petak tegal yang hanya bisa ditanami singkong. “Ya, itu saja untuk makan”, kata Muzaki.
Hujan disertai petir masih saja belum reda. Muzaki mengaji keras sekali, seolah tak mau kalah dengan suara hujan. Saya tidak tahu surat apa saja yang dia baca. Tetapi dari mimiknya dan mtanya yang terpejam, lansia ini terlihat khusuk sekali.
Saat hujan mulai reda, Muzaki pamit sambil mengucap terima kasih. Atas kebaikan saya memberi makan, kata dia, dia tawarkan satu botol madu Rp. 20 ribu. Saya menolak, karena masih punya simpanan madu. Dia memaksa saya untuk menerima dua botol madu dengan harga Rp. 20 ribu saja. Saya masih menolak.
“Saya ikhlas, ini madu asli, bapak sangat baik kepada saya. Sepuluh ribu saja dua botol”, katanya menghiba. Saya ambil satu botol dan saya sodorkan selembar sepuluh-ribuan. Dia paksa saya menerima dua botol madunya, hanya Rp. 10 ribu. Padahal seharusnya dia jual Rp. 50 ribu.
Saya tetap menolak pemberiannya. Saya katakan, barangkali di jalan pulang nanti ada pembeli lain. Sorot matanya tajam menatap saya. Saya malah berburuk sangka, husnudh dhan, jangan-jangan madu yang dijualnya adalah madu palsu.
Dua minggu kemudian, ketika saya membuka lemari es, saya lihat madu Muzaki yang saya simpan disana. Saya keluarkan dan saya buka tutupnya. Ternyata madu itu benar-benar asli. Seminggu kemudian, saat hujan turun dengan lebatnya disertai angin kencang, saya buka pintu pagar dan pintu rumah saya. Saya menunggu barangkali Muzaki tua itu datang.
Sampai hujan reda menjelang magrib, pak tua Muzaki tidak datang. Saya menyesal sempat berburuk sangka padanya. Bahkan sampai hari ini, Muzaki tidak datang. Maaf, pak.



0 komentar:

Posting Komentar