SETU LEGI


Oleh : Dra. Hj. Soeprapti Soedjatno

Sejak masih jadi PNS dulu, sebelum masuk lansia, saya sudah mengenal akronim ini. Setu Legi alias setengah tuwo lemu ginuk-ginuk. Saya membayangkan orang yang masuk kategori ini adalah seseorang (ibu) setengah baya, berperawakan pendek gemuk dan berpenampilan lucu. Biasanya orang yang masuk kategori ini adalah ibu-ibu yang sudah mapan. Itu menurut pikiran kami saat itu.

Ternyata, ketika beberapa waktu lalu saya baca “Bausastra Jawa” karangan Prawiro Atmodjo terbitan Yayasan Djojo Bojo 1994, akronim itu cuma guyonan. Sebab ginuk ginuk artinya gemuk sekali. Jadi lemu sama dengan gemuk ditambah gemuk sekali.

Namun, sampai kini akronim setu lagi masih saja jadi bahan pembicaraan manakala melihat ada orang (ibu) yang agak “seger”. Dan tidak tinggi. Kata banyak dokter, orang bisa jadi gemuk bukan karena penyakit. Cuma karena pola hidup dan pola makan yang semau gue.

Tidak ada yang salah dengan menjadi gemuk. Yang penting tetap sehat, tetap produktif, masih berguna bagi sesama. Bahkan, setu legi tidak sedikit yang menjadi pemandu senam. Di banyak tempat dan sasana senam, ternyata setu legi menjadi favorit jadi pemandu bahkan menjadi pelatih senam. Gerakannya elok, apalagi kalau diiringi lagu berirama disko, poco-poco, cha cha atau ndangdut. Hem.

Meski demikian beberapa teman yang masuk kategori setu legi, ada yang gerah karena menganggap dirinya terlalu subur. Bahkan ada yang memang sudah terlampau gemuk. Akhirnya melakukan diet dengan cara ekstrim. Maka hasilnya dapat ditebak, mereka yang melakukan diet ekstrim atau keras malah jadi sakit. Ambruk, tidak ketulungan.

Menurut beberapa teman juga, kalau sudah terlanjur lemu ginuk ginuk, biarkan saja. Sebaiknya kita manage kegemukan itu agar tidak menganggu kesehatan dan aktifitas. Toh sudah terlanjur. Dan, yang merasa sehat kan diri kita sendiri. Bahkan ada yang mengatakan bahwa gemuk merupakan simbol kesejahteraan keluarga.

Lingkar pinggang.
Secara sederhana menurut P. Bernardus dalam bukunya berjudul “Rajin Ukur Lingkar Pinggang Yuk” ada pedoman kita gemuk atau tidak. Kalau lingkar pinggang sudah melewati batasan 80 cm untuk wanita dan di atas 90 cm untuk pria, berarti kesehatan kita sedang berada di posisi 'lampu kuning'. Artinya, kita gemuk. Karena sudah banyak timbunan lemak di pinggang.

Sementara itu, binaragawan Ade Rai punya hitungan sendiri untuk melihat kita gemuk atau tidak. Barometer gemuk tidaknya seseorang bisa dilihat dari Indeks Massa Tubuh (IMT), katanya. Patokannya adalah :
Kurus - IMT <> 27
Untuk menghitung IMT, rumusnya adalah sebagai berikut : Berat Badan (dalam kilogram) : Tinggi Badan (dalam meter) ^ 2. Contoh. Bila seseorang memiliki berat badan 70 kg dengan tinggi badan 165 cm. Maka IMT-nya adalah: 70 kg : (1,65 ^ 2) = 26,08. Artinya, gemuk.
Lalu seberapa jauhkah dirinya dari ideal ? Untuk mendapatkan indikasi seberapa jauh dirinya dari ideal, maka kita tinggal membalikkan rumusannya. Berat Badan Ideal = IMT Sedang x Tinggi Badan. Untuk contoh di atas, maka:
Berat Badan Ideal = 21 s/d 24,99 x 1,65 ^ 2
= 57,2 kg s/d 65,3 kg.
Berarti orang tersebut sudah kelebihan berat badan sebanyak 4,7 – 12,8 kg.

Terus bagaimana ?
Tidak untuk menakut-nakuti orang yang terlanjur lemu ginuk-ginuk, menurut Profesor Anthony Barnett dari University of Birmingham kegemukan dapat meningkatkan risiko penyakit diabetes dan jantung hingga 4 kali lipat. Sedangkan menurut Ade Rai, orang yang masuk dalam kategori gemuk dan obese menghadapi risiko penyakit jantung 200%, kolesterol tinggi 180%, tekanan darah tinggi 211%, stroke 155%, meninggal lebih awal 150% daripada mereka yang masuk dalam kategori sedang.

Setelah membaca tulisan ini, pasti akan timbul pertanyaan. Apa upaya kita untuk me-manage kegemukan kita ? Ada kiat untuk mengantisipasinya.
  1. Kurangi jumlah kalori. Tetap makan 3 kali sehari ditambah kudapan sehat namun dengan jumlah kalori yang lebih sedikit.
  2. Hindari beberapa daftar berikut demi tubuh Anda. Tidak membeli bahan makanan dan minuman yang mengandung lemak jenuh (saturated fat), minyak hidrogenat (trans fat), sirup seperti sirup jagung high-fructose.
  3. Makan lebih banyak buah segar, sayur-sayuran, dan biji-bijian.
  4. Berjalan selama 30 menit setiap hari.
  5. Lakukan latihan dengan beban setelah sebulan berolahraga. Setelah 30 hari berjalan kaki secara teratur, bentuk otot tubuh dengan mengangkat beban selama 20 menit.
  6. Ukur dengan meteran baju lingkar pinggang bukan timbangan badan.


Lebaran dan OOC


Oleh : Imam Soebagio

Ada kebahagiaan dan harapan saat bulan puasa tiba bagi anak-anak. Terutama di kampung saya di kota Jember, Jawa Timur. Bahagia karena dengan menjalankan ibadah puasa, mereka akan diampuni dosanya. Bahagia, makanala usai melaksanakan ibadah puasa, akan tiba lebaran. Lebaran memang dinanti-nanti, karena saat lebaran mereka akan mengenakan baju baru. Kemudian melakukan tradisi unjung-unjung (mengunjungi) orang-orang tua dan sanak keluarga. Harapannya, mereka akan menerima uang (sangu) dan menikmati jajanan.

Adakah lebaran tahun ini ada baju baru atau menikmati jajanan enak ? Tentunya bagi masyarakat kampung, seperti keluarga saya, hal itu masih merupakan tanda tanya. Sebab situasi ekonomi saat ini masih kurang bagus. Istilah kerennya situasi ekonomi yang tidak kondusif. Sehingga untuk mberbelanja sesuatu lebih dari biasanya tampaknya agak sulit.

Andaikatapun bisa beli baju baru, kalau anak-anak tetangga tidak memakai baju baru, pasti menimbulkan pekewuh. Sementara itu, lazimnya para orang tua yang pensiunan menerima THR, kini tunjangan itu sudah tidak ada. Karena dibayarkan saat memasuki tahun ajaran baru dua bulan lalu.

Namun, lebaran harus tetap dirayakan. Unjung-unjung bagi anak-anak masih harus ada karena memang tradisi. Soal baju baru, barangkai bisa dikesampingkan. Begitu pula soal memberi sangu bagi para tamu anak-anak, kalau ada diberi. Kalau tidak ada, barangkali cukup bersalaman. Untuk saling bermaafan. Tetapi kue atau jajan lebaran, tetap wajib ada.

Made self.
Saya jadi ingat dengan seorang lansia di Jember. Namanya Ibu Hj. Siti Asmaniyah Soeratno. Eyang yang hampir 80 tahun ini masih aktif jadi Pengurus PWRI Jember dan Perwakilan Yayasan Gerontologi Abiyoso Jember. Disamping membina Karang Werda ”Lestari I” dengan mengajar wirausaha bagi para lansia yang kurang beruntung di Kecamatan Patrang.

Eyang Asma punya resep kue yang bisa dibuat untuk kudapan lebaran. Bahannya murah, cara membuatnya mudah, rasanya enak. Disuka anak-anak sampai lansia. Namanya OOC alias Onde Onde Ceplus. Tampangnya seperti onde-onde tapi tanpa isi, lebih kecil namun terbelah.

OOC pasti akan menjadi kue favorit saat lebaran, kata Eyang Asma. Bisa dibuat dengan mudah untuk kudapan keluarga, tetapi sangat mungkin untuk dijual. Apalagi kalau disajikan dalam bungkus (packaging) yang menarik. Saya pernah mengikuti pelatihan membuat OOC ini dengan para lansia lain. Memang mudah.

Bahan :
½ kg tepung terigu (Segitiga)
3 butir telur
2 ons gula pasir
2 sendok mentega (dicairkan)
4 sendok makan air
1 sendok the baking soda dan vanili
1 ½ ons wijen
Minyak goreng secukupnya.

Cara membuatnya :
1. Gula, telor dikocok sampai putih. Air, mentega cair yang dingin dan tepung dicampurkan (diuleni).
2. Setelah rata, digelintiri sebesar telur puyuh.
3. Untuk dibaluri wijen, bulatan diolesi air terlebih dahulu supaya wijen melekat.
4. Bulatan yang sudah dibaluri wijen, digoreng dengan minyak panas. Apabila bulatan sudah merekah/pecah/terbelah, berarti sudah matang, angkat.
5. Sajikan. Kalau mau dijual, kemas dalam kemasan yang bagus.

Dalam gambar tampak profil OOC. Sedangkan gambar lain tampak Eyang Asma (paling kiri) sedang mengajari para lansia anggota PWRI Jember membuat OOC. Selamat mencoba. Selamat menjalankan ibadah puasa. Mudah-mudahan kita diberi kekuatan dan ketabahan menjalani hidup ini. Amin.


BANTUAN UEP LANSIA



Oleh : Imam Soebagio


Sejumlah lansia miskin di Jember mendapat bantuan modal dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Penyerahan bantuan modal tersebut ditandai dengan pembukaan rekening oleh para lansia tersebut di BRI Cabang Jember, Kamis (20/8).

Menurut Kepala Dinas Sosial Kabupaten Jember Drs. Suhanan, Msi dengan diberikannya modal tersebut, diharapkan para lansia ini tetap mengembangkan usahanya untuk mensejahterakan dirinya secara mandiri. Dengan demikian, para lansia ini diharapkan tidak tergantung kepada orang lain, setidaknya tidak merepotkan orang lain.

Lebih jauh menurut Suhanan, bantuan kepada lansia yang masih mempunyai usaha ini sebesar Rp. 1 juta rupiah setiap orang. Merupakan program Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur untuk pengembangan UEP (Usaha Ekonomis Produktif) khusus bagi lansia. Tahun ini Jember mendapat jatah 31 orang dari 41 lansia melalui Karang Werda yang tersebar di Kecamatan Ledokombo, Kalisat, Sumbersari, Kaliwates dan Rambipuji.

Mudah-mudahan tahun depan lebih banyak lagi lansia produktif yang mendapat bantuan modal, harap Suhanan. Ke-31 lansia Jember ini merupakan bagian dari 305 lansia yang berasal dari 10 kabupaten di Jawa Timur.

Sepenuh hati.
Saat memberikan sambutannya, Pemimpin Cabang BRI Jember, Agung Yugo Pratomo menyambut baik program peningkatan kesejahteraan lansia melalui Usaha Ekonomis Produktif Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Hal ini selaras dengan visi BRI untuk ikut serta mensejahterakan masyarakat.

”BRI melayani dengan sepenuh hati untuk memberikan pelayanan, terlebih kepada para lansia”, kata Agung. Diantaranya, pelayanan secara online di Unit-Unit BRI yang ada disekitar penerima bantuan Program UEP ini. Jadi, para nasabah khususnya lansia ini tidak perlu lagi datang ke Jember untuk mencairkan dananya. Cukup di BRI Unit terdekat, kata Agung lagi.

Sementara itu, Wakil Ketua Forum Kerjasama Karang Werda Kabupaten Jember Ir. H. Kasturo, MPPM menyatakan terimakasihnya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang memperhatikan para lansia ini. Walaupun masih 31 orang, diharapkan pada tahun-tahun mendatang, lebih banyak lagi lansia produktif yang mendapat bantuan diluar BLT dan yang bukan penerima pensiun.

Menurut catatan, tutur Kasturo, di Jember terdapat 240 ribu lansia dari sekitar 2,2 juta jiwa penduduk. Tidak semua lansia miskin mendapat BLT yang dicatat Karang Werda. Salah satu contoh, seorang ibu bernama Muksi yang tinggal dekat alun-alun kota Jember. Usianya 76 tahun masih menjual rokok, jajanan kecil dan permen mulai habis magrib sampai menjelang pagi di alun-alun kota. Dia melakukan ”bisnis” ini untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Anaknya hanya seorang tukang becak yang juga harus mencukupi kebutuhan hidup isteri dan anak-anaknya.


GAPLEK PRINGKILAN


Oleh : Imam Soebagio

Sejak pagi Pakde memperhatikan anak-anak pating pencolot di dermaga Pasir Putih. Mereka tertawa ria, saling mendorong mencebur ke laut, kemudian berenang ke tepi. Kemudian nyebur lagi, begitu seterusnya. Dari kejauhan, sambil berendam di laut Pakde membayangkan masa kecil seperti itu. Dulu Pakde juga seperti mereka. Tidak di Pasir Putih, Situbondo tetapi di Kali Bedadung, Jember yang masih belum mengalami pendangkalan seperti sekarang.

Ketika matahari beranjak naik, sekitar jam 9 pagi begitu, Pakde mengajak isterinya naik dermaga. Sesampai di tengah dermaga, Pakde bilang pada isterinya kalau dia ingin nyebur ke laut dengan cara mencolot.
- Waktu mencolot, saya dipotret, ya bu !
- Hah, wis tuwek macem-macem, kata isteri Pakde.
- Nggak apa-apa, bu, namanya juga kepingin.
- Kepingin koq mencolot.

Namanya juga sayang suami, maka keinginan Pakde untuk mencolot dari atas dermaga tak bisa lagi dilarang sang isteri. Satu, dua, tiga dan Pakde pun ambyur ke laut dengan kaki dibawah seperti posisi seperti anak-anak tadi. Tiba-tiba saja Pakde sudah masuk air. Dan ketika kakinya menjejakkan dasar laut, kedua ugel-ugel Pakde terasa sakit sekali. Sambil meringis Pakde memijati kedua kakinya.

Isteri Pakde diatas dermaga berteriak, kenapa, pak ? Kakiku sakit, jawab Pakde sambil mengerang. Pakde menepi, isterinya juga turun dari dermaga. Pakde bertanya dalam hati, mengapa ketika menjejakkan kaki ke dasar laut saya mengalami kesakitan seperti itu.

Tanpa dinyana, isteri Pakde memberi jawaban demikian. Semakin siang, air laut semakin surut, berarti tempat mencolot tadi mengalami pendangkalan. Kalau anak-anak tadi keenakan pencolotan, karena berat badan bapak beda dengan berat badan anak-anak. Berat badan bapak kan hampir seratus kilo, jelas sang isteri. Sehingga ketika bapak nyebur ke laut, menghunjam keras. Pakde cuma manggut-manggut.

Dasar gaplek pringkilan, wis tuwek sik petakilan, kata isterinya lagi. Wis-wis, aku wis waras, kata Pakde sambil bangkit terus masuk kamar mandi. Padahal kaki Pakde masih njarem dan cenut-cenut. Sampai dua minggu lamanya. Beberapa waktu kemudian saat mandi di rumah, Pakde berpikir, ternyata tidak semua keinginan lansia bisa dinikmati dengan enak. Dasar ........

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA




Pengurus Perwakilan Yayasan Gerontologi Abiyoso Kabupaten Jember mengucapkan :

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA, pada peringatan ulang tahun Republik Indonesia ke-64 tahun 2009. Mudah-mudahan pada peringatan ini sekaligus dengan kepemimpinan nasional yang baru, membuat bangsa kita menjadi aman dan sejahtera. Berkenaan dengan datangnya bulan suci Ramadhan, kami ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya.


Pengurus Perwakilan Yayasan Gerontologi Abiyoso
Kabupaten Jember 2008 – 2013

Penasehat :
1. Prof. Dr. Simanhadi Widyoprakosa
2. R. Soegiarto

Pengawas :
1. Kol (Pur) H. Mas Koeswanto, S.Sos
2. Drs. K. Santoso

1. H. Giman Supriatno - Ketua
2. Ir. Kasturo, MPPM - Wakil Ketua
3. Imam Soebagio, MBA - Sekretaris
4. H. Mas Suyono - Bendahara
5. Drs. H. Hamdani - Sie Keagamaan
6. Ny. Suharti, A.Md, S.Pd - Sie Kesehatan
7. Ny. Sunarti - Sie Olah Raga
8. Ny. Sulantari - Sie Olah Raga
9. Ny. Hj. Siti Asmaniah Soeratno - Sie Budkesrek
10. Jatin - Sie Budkesrek
11. Ny. Hj. Djulaicha - Sie Pemberdayaan Karang Werda
12. Ny. Hj. Siti Bastiah - Sie Pemberdayaan Karang Werda
13. Ny. Hj. Maria Bambang - Sie Pemberdayaan Lansia
14. Ny. Dra. Hj. Soeprapti Soedjatno - Sie Sosial
15. H. Soetikno - Sie Humas, Publikasi & Dokumentasi





“GEMA LANSIA” Jember



oleh : Imam Soebagio


Latar belakang.
Menurut catatan Yayasan Gerontologi Abiyoso (2005), jumlah penduduk Kabupaten Jember 2.263.794 jiwa. 9.06% diantaranya adalah lansia, atau sekitar 204.744 jiwa. Dampak dari kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat, maka pada tahun 2009 diperkirakan lansia di Jember meningkat pula menjadi sekitar 11%.

Ada beberapa organisasi yang mewadahi para lansia. Diantaranya PWRI, Pepabri, Angkatan 45, LVRI, organisasi pensiunan seperti Intan Sejati, dan Karang Werda. Namun sayang tidak semua lansia mau bergabung dalam organisasi kemasyarakatan tersebut. Namun mereka mengalami problem yang sama. Kekurangan informasi yang penting bagi diri mereka sendiri.

Para lansia ini membutuhkan banyak informasi agar mereka awet urip, tetap sehat dan berguna. Pada umumnya informasi yang mereka butuhkan mengenai masalah degeneratif (ketuaan), kesehatan, olah raga, pengobatan alternatif, bahkan pengetahuan kewirausahaan yang bisa mereka lakukan dalam usia senja. Disamping pengetahuan mengenai berbagai masalah aktual yang menyangkut kesejahteraan lansia, tulisan humor atau pengalaman hidup yang bisa diteladani.

Maka munculah empat sekawan yang secara sukarela mau menyumbangkan tenaga, pikiran dan kelebihan rejeki yang mereka miliki. Adalah Dra Hj. Soeprapti Soedjatno (pensiunan Depdikbud Jember), Jatin (pensiunan PLN Jember), Bambang Widjanarko, SH (pensiunan Dipenda Propinsi Jawa Timur di Bondowoso) serta Imam Soebagio (pensiunan Kepala Humas Universitas Jember).

Maka sejak 2 Mei 2008, mereka menerbitkan tabloid ”Gema Lansia”. Tirasnya hanya seribu eksemplar. Dibagikan secara gratis bagi para lansia di Jember, sambil menunggu sumbangan apa saja untuk membayar ongkos cetak. Tiras sebanyak itu memang kurang apabila dibandingkan dengan jumlah lansia yang lebih dari 220 ribu orang.

Gema Lansia dilahirkan karena pengasuhnya menyadari betapa pentingnya bacaan bagi para lansia. Para sepuh ini dalam menjalani hidup setelah mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara tidak hanya butuh makan, berinteraksi, hiburan dan vitamin saja namun juga butuh asupan berupa bacaan. Bacaan yang enteng berisi. Tetapi mudah dicerna karenanya disesuaikan dengan bahasa mereka tetapi penuh gizi.

Beberapa tokoh memberikan perhatian dan dukungannya. Mereka adalah Prof. Dr. Simanhadi Widyoprakosa (Universitas Jember), Kol (Pur) Drs. H. Koeswanto, (Ketua Pepabri), Kol (Pur) H. Giman Supriatno (Ketua Perwakilan Yayasan Gerontologi Abiyoso Jember), Drs. K. Santoso (Ketua PWRI Jember).

Alhamdulilah, pada 3 Agustus 2009 di Surabaya telah ditandatangai Naskah Kesepakatan antara Gema Lansia” dengan Intan Sejati (Ikatan Mantan Karyawan Dipenda Propinsi Jawa Timur) yang menerbitkan Buletin ”BeR-INTAN”. Maka sebagian ongkos cetak ”Gema Lansia” dapat diatasi dari sini. Dari APBD, belum.


Visi :
Menjadi media komunikasi para lansia agar tetap sehat dan berkualitas.

Misi :
1. Membangun akses informasi antara para lansia untuk tetap obah, owah dan makarti.
2. Menjadikan lansia tetap berkualitas walaupun tua.
3. Membantu pemerintah membina dan meningkatkan kesejahteraan para lansia.

Penerbit :
Empat sekawan – Jember.

Pengasuh :
Dewan Penasehat : Prof. DR. H. Simanhadi WP
Kol (Pur) H. Koeswanto, S.Sos
Kol (Pur) H. Giman Supriatno
Drs. K. Santoso
Penanggung jawab : Imam Soebagio
Pemp. Redaksi : Dra. Hj. Soeprapti Soedjatno
Pemp. Perusahaan : Bambang Widjanarko, SH
Redaktur Pelaksana : Jatin
Rice Dyah Yuli, S.Sos.

Beberapa contoh tulisan yang dianggap menarik diturunkan dalam : pakdebagio.blogspot.com ini

HORAS, PAK PEA


Oleh : Imam Soebagio

Berbicara dengan Pak Pea, panggilan akrab Germanikus Hutapea (97 thun) sangatlah menyenangkan. Penuh semangat. Mimik dan gerak tubuhnya terkadang membuat seolah kita berada dalam lingkaran cerita yang dikisahkannya. Cerita heroik, yang dialami Pak Pea seputar perang kemerdekaan Republik Indonesia. Terkadang Pak Pea tertawa terbahak-bahak kalau teringat dia dan anak buahnya melucuti tentara Jepang. Sesekali mulutnya tak bisa mengucapkan sesuatu, air matanya menetes, mengingat kehidupan tentara saat itu yang berjuang tanpa mengenakan sepatu. Atau saat melihat kelakuan tentara Belanda yang membiarkan masyarakat Papua yang tetap telanjang bulat.

Suka, sedih, haru, duka dan semangat yang selalu menyala-nyala saat lelaki lansia ini ditanya seputar perang kemerdekaan. Germanikus Hutapea dilahirkan di Medan, 22 Februari 1922. Ayahnya seorang ahli mesin bernama Musa Hutapea. Karena dalam kesehariannya Musa bekerja di bengkel besar yang mesin-mesinnya buatan Jerman, maka ketika anaknya lahir diberi nama Germanikus. Tetapi dia tidak pernah mimpi kalau akhirnya si anak Medan ini terdampar di Jember lebih setengah abad, sampai kini.

Germanikus kecil yang akhirnya dikenal orang Jember dengan nama Pak Pea, menyelesaikan sekolahnya HIS dan MULO di Medan. Karena bapaknya orang teknik, maka Germanikus sekolah di teknik sipil. Setelah tamat, jaman Jepang dia bekerja di pelabuhan Belawan. Ikut melakukan renovasi pelabuhan.

Seragam buatan sendiri.
Sejarah kejuangannya dimulai dari sini. Suatu ketika, semua pekerja di pelabuhan Belawan dinaikkan ke beberapa kapal untuk dibawa entah kemana oleh tentara Dai Nipon. Menurut rencana, keesokan harinya akan berangkat. Namun sebelum fajar menyingsing kapal-kapal yang mengangkut para pekerja itu di torpedo oleh pasukan Amerika. Semua kapal tenggelam dan penumpangnya tewas. Hanya beberapa penumpang yang selamat.

Alhamdulilah, saya masih hidup, kata Pak Pea. Saya mendapat pertolongan sebuah helikopter yang kemudian mengangkutnya ke Singapura.. Karena saya fasih berbahasa Belanda dan tampak seperti terpelajar kemudian dikirim ke Surabaya. Dan, di Surabaya inilah saya bergabung dengan Brawijaya. Sejak saat itulah saya menjadi tentara, mengikuti berbagai operasi militer ke seluruh Indonesia, kecuali Sumatera.

Pendidikan kemiliteran pertama yang diikuti adalah PPL I (Pendidikan Perwira Lanjutan I) angkatan ketiga di Bandung. Sejak itulah Pak Pea punya pasukan. Menjadi tentara saat itu amatlah berat, katanya. Senjata terbatas, seragam seadanya, alat komunikasi juga tidak ada. Bayarannya juga kadang-kadang.

Ada cerita menarik Pak Pea mengenai seragam. Suatu ketika, saat pasukannya bertugas di Lawang, Malang. Dia mendapat informasi bahwa Komandan tentara Belanda ingin menemuinya. Maka semalaman dia menjahit seragamnya yang hitam-hitam. Tanda pangkat Letnan Satu dia buat sendiri dengan jahitan tangan. Dia memang memerlukan seragam, supaya tentara Indonesia kelihatan bagus dan berwibawa.

Sang komandan Belanda keesokan harinya datang tanpa senjata, padahal anak buah Pak Pea sudah bersiap dengan senjata lengkap disekitar tempat pertemuan. Mereka khawatir kalau ini jebakan.

Ternyata Komandan Belanda itu cuma mau pamit, karena harus pulang ke negerinya. Kontak senjatapun tidak terjadi. Seharian kami tertawa mengingat semalaman saya tidak tidur karena membuat baju seragam. Hanya untuk dip[amiti.

Celana kolor.
Masih seputar baju. Pada saat pasukannya ditugaskan ke Papua, dia memaki-maki komandan Belanda yang ada disana. Sang komandan ketakutan betul, karena marah saya luar biasa. Bangsa saya disana oleh Belanda dibiarkan telanjang. Yang laki cuma pakai koteka, yang perempuan hanya menutupi auratnya dengan kulit kayu. Maka Hutapea melapor ke Panglima Divisi Brawijaya sekaligus minta kiriman celana kolor. Ketika ditanya, panglimanya siapa, Pak Pea sudah lupa.

Beberapa waktu kemudian ternyata kiriman celana kolor datang sebanyak 2 truk. “Susah sekali mengajari penduduk setempat untuk mengenakan celana”, kata Pak Pea penuh semangat. Maka dia panggil salah seorang anak buahnya. Dia suruh telanjang bulat dan naik keatas truk. Kemudian satu persatu, tahap demi tahap, anak buahnya mengajari penduduk mengenakan celana. Akhirnya mereka bisa mengenakan celana. Sebagai hadiah, yang sudah mengenakan celana kolor diberi hadiah rokok.

Beberapa saat kemudian, ketika Pak Pea kembali dari perbatasan, dia menerima telepon dari anak buahnya yang masih tinggal disana. Ketika rokok yang dihisap habis, celana kolor yang sudah dibagikan, dicopot dan dilemparkan keatas pohon. Jadinya, dua truk celana kolor itupun mubazir, kata Pak Pea terkekeh-kekeh.

Sebenarnya masih banyak cerita heroik yang Pak Pea miliki, tetapi banyak yang lupa. Jangankan masalah perjuangan yang terjadi lebih setengah abad silam, nama-nama keenam anaknya saja sudah lupa. Yang pasti keenam anaknya sudah mapan. Ada yang jadi pejabat Bank Indonesia, PTPN Makasar dan bekerja di perusahaan Amerika. Ada pula yang bekerja sebagai tehnisi pesawat udara dan jadi Kombes Polisi di Mabes Polri. “Pokoknya mereka semua lulusan Universitas Jember”, katanya penuh bangga.

Ketika ditanya kiatnya untuk bisa panjang umur, dia katakan resepnya sederhana. Hidup apa adanya. Tidak merokok dan minumnya air putih. Tidak makan goreng-gorengan, tetapi makan sayuran yang banyak. Soal cukup atau tidak cukup uang pensiunnya, semua diserahkan kepada isterinya Ervina yang telah mendahului dipanggil Tuhan 20 tahun yang silam. Pensiunan Letnan Kolonel tahun 50-an ini menyatakan untuk menjalani hidup, hendaknya tetap sederhana dan bersahaja.

Kini Pak Pea tinggal dengan isteri yang dinikahinya 5 tahun silam. Tinggal berdua di Jalan Ahmad Yani 28 Jember. Sedangkan keenam anak dan 15 cucunya tinggal di luar kota. Pak Pea cukup bahagia karena anak dan cucunya setiap hari selalu menghubunginya melalui telpon. Pak Pea juga masih aktif di LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia). Untuk ke kantor setiap harinya, Pak Pea masih nyetir mobilnya sendiri. Walaupun alon-alon.

Merdeka, teriaknya sambil menjabat tangan saya erat-erat.


Karang Werda MAWAR




Inilah wajah para lansia Karang Werda Mawar, Kecamatan Patrang, Jember. Saat waktu luang mereka rekreasi bersama seperti dalam gambar saat di Hutan Sepuran Kecamatan Silo. Rekreasi dengan naik kereta apai kemudian "ajelen sokoh" menyusuri hutan menikmati alam indah. Mawar yang dipimpin Pak Jatin ini gudangnya penyanyi keroncong, lho.

Di gambar atas, Pangeran Jatin bergambar bersama dengan pengurus Yayasan Gerontologi Kabupaten Jember saat menghadiri ulang tahun ke-3 Karang Werda Dewi Sartika, Kecamatan Kaliwates Jember. Mera, cong ! Merdeka.



TENTARA BELANDA ITU DIKEROYOKNYA


Oleh : Imam Soebagio

Jika dia ingat kisah itu, tertawanya tak tertahankan lagi. Kisah itu tak mudah dia lupakan, karena menyangkut hidup mati dirinya dan kebenciannya terhadap kaum penjajah. Dia bisa menceritakannya berulang kali, kepada siapa saja, termasuk kepada anak cucunya serta tamunya yang lebih muda dengan lancar. Usianya sudah senja, hampir seabad, tetapi ingatannya masih tajam. Cara bicaranya juga masih teges, walaupun terkadang terasa lamban karena ketuaannya. Itulah K. Prawirodiwiryo yang masih enak diajak bicara.

Agar kisahnya selalu diingat anak cucunya, ketika ia punya rejeki, dua tahun lalu didirikanlah sebuah monumen di pojok halaman rumahnya. Di sebelah barat lapangan Bangsalsari, Jember. Monumen seharga satu setengah juta itu menggambarkan seorang pemuda pejuang memukul tentara Belanda yang memegang senapan dengan helm baja milik sang tentara.

Huruf K yang ada didepan nama Prawirodiwiryo adalah nama kecil Kusmin yang dilahirkan di Warujayeng, Nganjuk 14 Oktober 1914. Bapaknya yang petani, Kaspani Ronoprawiro mengajak pindah ke Semboro. Walaupun berasal dari keluarga miskin tetapi Kusmin kecil punya cita-cita menjadi pejuang. Kalau bisa angkat senjata untuk melawan penjajah. Kalau tidak bisa, jadi guru, katanya.

Untuk meraih cita-citanya usai menyelesaikan sekolah rakyat di Semboro, Kusmin melanjutkan sekolahnya di Vervoorschool di Tanggul. Setelah menyelesaikan sekolah guru di Surabaya, akhirnya Kusmin jadi guru di Taman Siswa. Di sekolah ini tidak lama karena bubar kekurangan murid. Administratur pabrik gula Semboro yang Belanda melarang anak-anak karyawan pabriknya sekolah disini. Masalahnya murid-murid Taman Siswa kalau latihan kepanduan KBI, mengenakan halsdoek merah putih.

Setelah bubar kemudian Kusmin mendirikan sekolah partikelir, yakni Mardi Putra. Sekolah yang masih onderbouw Taman Siswa. Muridnya cukup banyak, sebagian besar dari Taman Siswa dulu. Disini KBI berkembang, syaratnya kalau mengenakan halsdoek tidak boleh lewat pabrik agar tidak diketahui Belanda. Sambil jadi guru, Kusmin bergabung dalam satuan gerilya dari Kompi Alap-alap. Dia masih ingat komandan kompinya adalah Siswoyo. Kusmin sendiri yang dianggap punya pendidikan, diangkat sebagai semacam hakim.

Apa adanya.
Beristeri Samsirah yang usianya kini 92 tahun, keluarga Prawirodiwiryo dianugerahi lima anak. Walaupun dia kepala SD dan isterinya guru SD, keluarga ini berhasil mengantar putra-putrinya menjadi “orang”. Falsafah hidupnya sederhana, apa adanya dan nrimo ing pandum. “Syukuri nikmat dan pemberian Tuhan”, katanya. Pernah dia hanya memiliki satu singlet, satu baju, satu celana dan sepasang sepatu yang dia pakai untuk mengajar. Supaya anak-anaknya bisa sekolah.
Untuk mendidik anak-anaknya, dia juga tidak punya target. Karena keluarga ini memang tidak punya apa-apa. Lha wong bisa makan saja sudah untung pada saat itu. “Mengalir saja menyesuaikan dengan jaman, walaupun dia ingin anak-anaknya jadi guru”, tuturnya kepada “Gema Lansia”. Alhamdulilah, anak-anaknya berhasil semua. Bahkan cucunya ada yang tengah belajar S3 di UGM Yogyakarta..

Pertama Dra. Samsi Kusdarini Pensiunan guru SMA
Kedua Drs. Kusnusantoso Pengawas Dikmenum Kanwil Diknas
Ketiga Prof. DR. dr. Samsu Budiono Dosen FK Unair dan pemilik RS Mata Klampis
Keempat Dr. Samsu Haris Siswanto RSUD Pasuruan
Kelima Ir. Samsu Ariana Pribadi Deperindag Surabaya

Lelaki lansia ini sangat mensyukuri nikmat Tuhan. Masih tetap bertahan tinggal di Bangsalsari menemani cucunya. Isterinya yang juga lansia tinggal di Surabaya bersama salah seorang putranya karena dalam perawatan akibat stroke. Hari-harinya dia isi dengan membaca apa saja, menikmati acara sinetron di televisi. Sekali-sekali bernostalgia dengan album yang berisi foto anak-anaknya, berikut 16 cucu dan 6 buyut yang dimilikinya. Suasana senang dan gembira ini menjadi obat agar awet urip, katanya

Teman-temannya sudah melarang dia beraktifitas diluar rumah, sehingga kepengrusan PWRI Ranting Bangsalsari ditinggalkannya sejak dua tahun lalu. Begitu pula kepengurusan KPRI diserahkan kepada teman-temannya yang lebih muda.

Cerita Kusmin tua ini tidak membosankan. Banyak hal yang tidak bisa dilupakan dalam hidupnya. Barangkali bisa diteladani oleh anak-anak jaman sekarang agar mau mandiri, penuh semangat, tetap berjuang dan pantang berputus asa. Seperti pada tahun 1925 sampai 1927 saat Kusmin melanjutkan sekolahnya Vervoorschool di Tanggul. Setiap hari dia harus jalan kaki dari Semboro ke Tanggul sejauh 6 kilometer pulang pergi. Makannya sekali di pagi hari di pasar Tanggul. Menu tetapnya semur cecek yang harganya satu benggol (dua setengah sen).

Pada Nopember 1947 saat dalam perjalanan dari Semboro ke Bagorejo, dia bersama dua temannya diciduk Belanda. Dengan truk yang dikawal tentara Belanda bersenjata laras panjang dan bayonet terhunus menciduki orang-orang di sawah untuk dibawa ke pabrik gula Kencong. Sebelum masuk pabrik truk yang ditumpanginya berhenti, maksudnya menghampiri beberapa orang di sawah. Saat itu yang mengawal di bak belakang hanya seorang tentara.

Dari bisik-bisik kecil para tahanan, akhirnya sang tentara di keroyok ramai-ramai. Kusmin nyaris kena tusuk bayonet. Saat menangkis bayonet, tangannya menyambar helm sang tentara. Antara sadar dan tidak, helm baja itu dia pukul-pukulkan ke kepala tentara Belanda yang tidak diketahui nama dan pangkatnya. Kusmin hanya tahu sang tentara terjatuh dan berdarah-darah. Tentara lainnya yang ada di sawah melihat kejadian itu menembakkan senjatanya.

Dan satu truk tahanan pun kabur. Cerita K. Prawirodiwiryo tertawa terbahak-bahak.