GAPLEK PRINGKILAN


Oleh : Imam Soebagio

Sejak pagi Pakde memperhatikan anak-anak pating pencolot di dermaga Pasir Putih. Mereka tertawa ria, saling mendorong mencebur ke laut, kemudian berenang ke tepi. Kemudian nyebur lagi, begitu seterusnya. Dari kejauhan, sambil berendam di laut Pakde membayangkan masa kecil seperti itu. Dulu Pakde juga seperti mereka. Tidak di Pasir Putih, Situbondo tetapi di Kali Bedadung, Jember yang masih belum mengalami pendangkalan seperti sekarang.

Ketika matahari beranjak naik, sekitar jam 9 pagi begitu, Pakde mengajak isterinya naik dermaga. Sesampai di tengah dermaga, Pakde bilang pada isterinya kalau dia ingin nyebur ke laut dengan cara mencolot.
- Waktu mencolot, saya dipotret, ya bu !
- Hah, wis tuwek macem-macem, kata isteri Pakde.
- Nggak apa-apa, bu, namanya juga kepingin.
- Kepingin koq mencolot.

Namanya juga sayang suami, maka keinginan Pakde untuk mencolot dari atas dermaga tak bisa lagi dilarang sang isteri. Satu, dua, tiga dan Pakde pun ambyur ke laut dengan kaki dibawah seperti posisi seperti anak-anak tadi. Tiba-tiba saja Pakde sudah masuk air. Dan ketika kakinya menjejakkan dasar laut, kedua ugel-ugel Pakde terasa sakit sekali. Sambil meringis Pakde memijati kedua kakinya.

Isteri Pakde diatas dermaga berteriak, kenapa, pak ? Kakiku sakit, jawab Pakde sambil mengerang. Pakde menepi, isterinya juga turun dari dermaga. Pakde bertanya dalam hati, mengapa ketika menjejakkan kaki ke dasar laut saya mengalami kesakitan seperti itu.

Tanpa dinyana, isteri Pakde memberi jawaban demikian. Semakin siang, air laut semakin surut, berarti tempat mencolot tadi mengalami pendangkalan. Kalau anak-anak tadi keenakan pencolotan, karena berat badan bapak beda dengan berat badan anak-anak. Berat badan bapak kan hampir seratus kilo, jelas sang isteri. Sehingga ketika bapak nyebur ke laut, menghunjam keras. Pakde cuma manggut-manggut.

Dasar gaplek pringkilan, wis tuwek sik petakilan, kata isterinya lagi. Wis-wis, aku wis waras, kata Pakde sambil bangkit terus masuk kamar mandi. Padahal kaki Pakde masih njarem dan cenut-cenut. Sampai dua minggu lamanya. Beberapa waktu kemudian saat mandi di rumah, Pakde berpikir, ternyata tidak semua keinginan lansia bisa dinikmati dengan enak. Dasar ........

0 komentar:

Posting Komentar