HORAS, PAK PEA


Oleh : Imam Soebagio

Berbicara dengan Pak Pea, panggilan akrab Germanikus Hutapea (97 thun) sangatlah menyenangkan. Penuh semangat. Mimik dan gerak tubuhnya terkadang membuat seolah kita berada dalam lingkaran cerita yang dikisahkannya. Cerita heroik, yang dialami Pak Pea seputar perang kemerdekaan Republik Indonesia. Terkadang Pak Pea tertawa terbahak-bahak kalau teringat dia dan anak buahnya melucuti tentara Jepang. Sesekali mulutnya tak bisa mengucapkan sesuatu, air matanya menetes, mengingat kehidupan tentara saat itu yang berjuang tanpa mengenakan sepatu. Atau saat melihat kelakuan tentara Belanda yang membiarkan masyarakat Papua yang tetap telanjang bulat.

Suka, sedih, haru, duka dan semangat yang selalu menyala-nyala saat lelaki lansia ini ditanya seputar perang kemerdekaan. Germanikus Hutapea dilahirkan di Medan, 22 Februari 1922. Ayahnya seorang ahli mesin bernama Musa Hutapea. Karena dalam kesehariannya Musa bekerja di bengkel besar yang mesin-mesinnya buatan Jerman, maka ketika anaknya lahir diberi nama Germanikus. Tetapi dia tidak pernah mimpi kalau akhirnya si anak Medan ini terdampar di Jember lebih setengah abad, sampai kini.

Germanikus kecil yang akhirnya dikenal orang Jember dengan nama Pak Pea, menyelesaikan sekolahnya HIS dan MULO di Medan. Karena bapaknya orang teknik, maka Germanikus sekolah di teknik sipil. Setelah tamat, jaman Jepang dia bekerja di pelabuhan Belawan. Ikut melakukan renovasi pelabuhan.

Seragam buatan sendiri.
Sejarah kejuangannya dimulai dari sini. Suatu ketika, semua pekerja di pelabuhan Belawan dinaikkan ke beberapa kapal untuk dibawa entah kemana oleh tentara Dai Nipon. Menurut rencana, keesokan harinya akan berangkat. Namun sebelum fajar menyingsing kapal-kapal yang mengangkut para pekerja itu di torpedo oleh pasukan Amerika. Semua kapal tenggelam dan penumpangnya tewas. Hanya beberapa penumpang yang selamat.

Alhamdulilah, saya masih hidup, kata Pak Pea. Saya mendapat pertolongan sebuah helikopter yang kemudian mengangkutnya ke Singapura.. Karena saya fasih berbahasa Belanda dan tampak seperti terpelajar kemudian dikirim ke Surabaya. Dan, di Surabaya inilah saya bergabung dengan Brawijaya. Sejak saat itulah saya menjadi tentara, mengikuti berbagai operasi militer ke seluruh Indonesia, kecuali Sumatera.

Pendidikan kemiliteran pertama yang diikuti adalah PPL I (Pendidikan Perwira Lanjutan I) angkatan ketiga di Bandung. Sejak itulah Pak Pea punya pasukan. Menjadi tentara saat itu amatlah berat, katanya. Senjata terbatas, seragam seadanya, alat komunikasi juga tidak ada. Bayarannya juga kadang-kadang.

Ada cerita menarik Pak Pea mengenai seragam. Suatu ketika, saat pasukannya bertugas di Lawang, Malang. Dia mendapat informasi bahwa Komandan tentara Belanda ingin menemuinya. Maka semalaman dia menjahit seragamnya yang hitam-hitam. Tanda pangkat Letnan Satu dia buat sendiri dengan jahitan tangan. Dia memang memerlukan seragam, supaya tentara Indonesia kelihatan bagus dan berwibawa.

Sang komandan Belanda keesokan harinya datang tanpa senjata, padahal anak buah Pak Pea sudah bersiap dengan senjata lengkap disekitar tempat pertemuan. Mereka khawatir kalau ini jebakan.

Ternyata Komandan Belanda itu cuma mau pamit, karena harus pulang ke negerinya. Kontak senjatapun tidak terjadi. Seharian kami tertawa mengingat semalaman saya tidak tidur karena membuat baju seragam. Hanya untuk dip[amiti.

Celana kolor.
Masih seputar baju. Pada saat pasukannya ditugaskan ke Papua, dia memaki-maki komandan Belanda yang ada disana. Sang komandan ketakutan betul, karena marah saya luar biasa. Bangsa saya disana oleh Belanda dibiarkan telanjang. Yang laki cuma pakai koteka, yang perempuan hanya menutupi auratnya dengan kulit kayu. Maka Hutapea melapor ke Panglima Divisi Brawijaya sekaligus minta kiriman celana kolor. Ketika ditanya, panglimanya siapa, Pak Pea sudah lupa.

Beberapa waktu kemudian ternyata kiriman celana kolor datang sebanyak 2 truk. “Susah sekali mengajari penduduk setempat untuk mengenakan celana”, kata Pak Pea penuh semangat. Maka dia panggil salah seorang anak buahnya. Dia suruh telanjang bulat dan naik keatas truk. Kemudian satu persatu, tahap demi tahap, anak buahnya mengajari penduduk mengenakan celana. Akhirnya mereka bisa mengenakan celana. Sebagai hadiah, yang sudah mengenakan celana kolor diberi hadiah rokok.

Beberapa saat kemudian, ketika Pak Pea kembali dari perbatasan, dia menerima telepon dari anak buahnya yang masih tinggal disana. Ketika rokok yang dihisap habis, celana kolor yang sudah dibagikan, dicopot dan dilemparkan keatas pohon. Jadinya, dua truk celana kolor itupun mubazir, kata Pak Pea terkekeh-kekeh.

Sebenarnya masih banyak cerita heroik yang Pak Pea miliki, tetapi banyak yang lupa. Jangankan masalah perjuangan yang terjadi lebih setengah abad silam, nama-nama keenam anaknya saja sudah lupa. Yang pasti keenam anaknya sudah mapan. Ada yang jadi pejabat Bank Indonesia, PTPN Makasar dan bekerja di perusahaan Amerika. Ada pula yang bekerja sebagai tehnisi pesawat udara dan jadi Kombes Polisi di Mabes Polri. “Pokoknya mereka semua lulusan Universitas Jember”, katanya penuh bangga.

Ketika ditanya kiatnya untuk bisa panjang umur, dia katakan resepnya sederhana. Hidup apa adanya. Tidak merokok dan minumnya air putih. Tidak makan goreng-gorengan, tetapi makan sayuran yang banyak. Soal cukup atau tidak cukup uang pensiunnya, semua diserahkan kepada isterinya Ervina yang telah mendahului dipanggil Tuhan 20 tahun yang silam. Pensiunan Letnan Kolonel tahun 50-an ini menyatakan untuk menjalani hidup, hendaknya tetap sederhana dan bersahaja.

Kini Pak Pea tinggal dengan isteri yang dinikahinya 5 tahun silam. Tinggal berdua di Jalan Ahmad Yani 28 Jember. Sedangkan keenam anak dan 15 cucunya tinggal di luar kota. Pak Pea cukup bahagia karena anak dan cucunya setiap hari selalu menghubunginya melalui telpon. Pak Pea juga masih aktif di LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia). Untuk ke kantor setiap harinya, Pak Pea masih nyetir mobilnya sendiri. Walaupun alon-alon.

Merdeka, teriaknya sambil menjabat tangan saya erat-erat.


0 komentar:

Posting Komentar