KORUPSI, Siapa Takut



Oleh : Imam Soebagio

Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 58/4 tanggal 31 Oktober 2003, tanggal 9 Desember ditetapkan sebagai Hari Antikorupsi Internasional. Maka hari Rabu, 9 Desember 2009 yang lalu secara serentak masyarakat dunia memperingatinya. Demikian juga masyarakat Indonesia memberikan respon agar bangsa kita ikut serta memberantas korupsi. Demo besar-besaran di seluruh penjuru tanah air untuk memperingati Hari Antikorupsi Internasional.


Sebegitu hebatnya mahluk yang bernama korupsi ini sehingga PBB mesti turun tangan. Hal ini beralasan karena PBB menganggap korupsi merupakan isu yang melanda semua negara di dunia. Ini adalah tindakan yang terkait dengan hancurnya kejujuran seseorang akibat runtuhnya integritas moral, atau seseorang melakukan tindakan yang memperlihatkan tiadanya integritas atau kejujuran..

Menurut Syed Hussein Alatas, seperti yang dikemukakan Drs. R. Dyatmiko Soemodihardjo, SH, M.Hum, istilah korupsi mencakup tiga tipe fenomena. Yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme (nepotism). Ketiganya dikaitkan dengan penempatan kepentingan-kepentingan publik dibawah kepentingan-kepentingan pribadi dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi menurut Jack Bologne dengan GONE Theory-nya, adalah :
Greeds (keserakahan) yang berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.
Oppoturnities (kesempatan) yang berkaitan dengan keadaan organisasi, instansi atau masyarakat, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Needs (kebutuhan) yang terkait dengan faktor kebutuhan individu guna menunjang hidupnya yang layak.
Exposures (pengungkapan) yaitu faktor yang berkaitan dengan tindakan, konsekuensi atau risiko yang akan dihadapi oleh elaku apabila yang bersangkutan terungkap melakukan korupsi.

Keempat faktor ini saling baerkaitan, sehingga banyak pejabat, pemegang kekuasaan dan penanggung jawab kelembagaan menjadi terlena. Akibatnya, tidak sedkit dari mereka yang ”terjebak” dan melakukan penyalah-gunaan alias korupsi. Dan akhirnya masuk ”pintu taubat”, nama lain penjara atau Lembaga Pemasyarakatan. Termasuk di Jember. Disana sudah ada nama beken seperti Samsulhadi, Djoewito, Muharor dan serentetan nama. Belum lagi sejumlah nama lain yang sudah diincar untuk masuk bui.

Schok terapi.
Di negeri kita, korupsi nampaknya sudah seperti kanker dalam tubuh. Sudah menguasai darah dan daging. Sudah menguasai strata terendah sampai strata teratas. Hal itu terjadi karena budaya malu sudah habis, budaya sungkan sudah tipis. Rasa takut sudah tidak ada lagi, karena hukum bisa dipermainkan, penegak hukum sudah dikuasai para calo baik yang berseragam maupun yang pakaian preman. Bak kata pepatah, wet kalah karo duwit alias hukum kalah sama uang. Aturan dan peraturan mengenai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sudah tidak mempan lagi.

Padahal menurut Baharudin Lopa, mantan Jaksa Agung, sebenarnya mencegah kolusi dan korupsi tidaklah sulit. Itu kalau kita secara sadar mau menempatkan kepentingan umum dan kepentingan rakyat banyak diatas kepentingan pribadi atau golongan. Betatapun sempurnanya peraturan, kalau niat untuk korupsi ada di hati yang memiliki peluang melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, maka korupsi akan tetap terjadi. Karena faktor mental lah yang paling menentukan.

Nampaknya memberantas korupsi di negeri kita seperti menegakkan benang basah. Sulit sekali. Sehingga ketika memperingati Hari Antikorupsi Internasional, 9 Desember 2009 lalu banyak konsep yang ditawarkan para pendemo. Mulai dari yang ringan agar koruptor dikenakan hukum cambuk, dimasukkan televisi dalam acara koruptainmen, hukuman diperberat, tidak diperlakukan khusus seperti penyediaan LP Khusus.

Slamet, pensiunan, yang menonton aksi di dekat bundaran DPRD Jember memberikan konsep lain. Sita semua harta koruptor, baik atas namanya sendiri maupun atas nama isteri, anak dan cucunya. Kemudian tempatkan mereka dibawah jembatan semanggi atau dibawah jembatan jompo. ”Biar kapok”, kata Slamet berapi-api. Sebab konon kabarnya ada koruptor yang rela menjalani hukuman penjara daripada harus menguras harta untuk membiayai mafia peradilan.

Ada juga yang diteriakkan pendemo yang lebih ekstrim. Perlu schok terapi, kata mereka. Agar para koruptor dikenakan hukuman mati, digantung atau potong tangan. Bahkan kalau perlu dirajam. Tetapi Baharudin Lopa pernah menolak hukuman semacam itu karena melanggar Hak Azasi Manusia dan tidak berdasar.

Mantan Presiden Peru, Fujimori yang terbukti korupsi dikenakan hukuman penjara 48 tahun. Mantan Presiden Filipina Erick Estrada dikenakan hukuman penjara seumur hidup, juga karena korupsi. Di Jepang koruptor bunuh diri. Di China, koruptor dihukum tembak dimuka umum.

Tindakan preventif.
Untuk memberantas korupsi di negeri kita, nampaknya perlu komitmen jelas. Presiden SBY sudah menyampaikan tekadnya untuk memberantas korupsi. Tinggal sekarang bagaimana komitmen para pembantunya.

Mengutip konsep yang diajukan Drs. R. Dyatmiko Soemodihardjo, SH, M.Hum, pemberantasan korupsi tidak seperti yang dilakukan saat ini. Lebih mengedepankan strategi represif dengan melakukan pengungkapan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan serta menghukum para pelaku.

Di negeri ini, upaya-upaya pencegahan agar tidak timbul korupsi masih kurang mendapat perhatian semestinya, kata sejumlah orang. Masih tebang pilih, kata orang lagi. Tindakan represif saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan upaya-upaya preventif yang dapat mencegah timbulnya korupsi. Di China koruptor ditembak mati seperti gambar yang diambil dari internet ini.


0 komentar:

Posting Komentar