Oleh : Imam Soebagio
Berbincang dengan lansia yang satu ini sangatlah menyenangkan. Walau usianya mulai senja, 91 tahun, tutur katanya masih tertata bagus. Masih jelas, disertai intonasi khas Jawa yang masih kental. Daya ingatnyapun masih hebat. Apalagi kalau menceritakan putra-putrinya yang sukses ber-karir. Dan almarhum suaminya, salah satu pamong praja dari sembilan pegawai kabupaten Jember pertama yang dibentuk Belanda. Itulah sosok Eyang Roekanti, isteri almarhum Koesdi, kemenakan Bupati pertama Jember Notohadinegoro.
Eyang Roekanti sangat fasih menjelaskan nama putra-putrinya yang sebelas orang berikut pekerjaannya. Begitu pula ketika merinci 34 cucu dari kesebelas putra-putrinya. Namun ketika ditanya berapa buyut dan canggahnya, Roekanti tertawa ngakak sambil berkata, jangan tanya jumlah dan namanya. “Pokoknya, buanyak”, katanya.
Roekanti adalah sosok ibu periang yang demokratis. Dia tidak pernah menyuruh anak-anaknya jadi apa. Dia hanya berpesan agar anak-anaknya belajar dan bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab. Wanita yang kelihatan segar dan tidak pernah minum obat ini tidak punya kiat agar “awet urip”. Sebab yang membuat “awet urip” adalah Tuhan Yang Maha Esa, katanya. Yang penting menurutnya, nrimo, apa adanya dan mboten nate muring alias tidak pernah marah.
Eyang Roekanti yang kini tinggal bersama putri ketujuhnya, Nastuti Herawati, di Jalan Rasamala, Patrang, Jember ini masih membaca Panyebar Semangat. Paling suka makan dengan lauk sayur. Sedangkan daging, jarang sekali dijamahnya. Barangkali itu yang membuat sang eyang tetap sehat, pikir saya.
Dikepang.
Roekanti dilahirkan di Ngawi, 26 Januari 1918. Putri tunggal pasangan Sarjono dan Masmunah. Karena tugasnya sebagai pegawai kehutanan, pada tahun 1932 pasangan ini dipindah ke Bangsalsari, Jember. Roekanti sendiri yang bersekolah di HIS kelas dua, meneruskan pendidikannya di HIS Jember. Saat itu dia bersama kawan-kawannya banyak yang bersekolah di Jember.
Untuk bersekolah, pemerintah penjajahan Belanda menyediakan sepur (kereta api) khusus dari Tanggul ke Jember pulang pergi. Roekanti senang sekali bisa bersekolah dan banyak punya teman. Abonemen kereta api dari Bangsalsari ke Jember saat itu hanya 2 gulden per bulannya.
Ketika ditanya. dia sudah lupa dimana saja teman-teman sekolahnya yang abonemen sepur saat itu. Yang paling diingat adalah cara berpakaian anak sekolah saat itu. Seragam tidak ada, tetapi murid laki-lagi mengenakan sarung batik, jas tanpa dasi dan tanpa kopiah. Sedang anak perempuannya, pakai jarit dan berkebaya. Rambutnya di klabang, atau bahasa gaulnya dikepang.
Saat Roekanti mulai remaja, ibunya melarang dia melanjutkan sekolah HIS yang gedungnya kini ditempati SMP Negeri I Jember. Menurut ibunya, perempuan tidak perlu sekolah tinggi. “Kulo mrotol ngantos kelas gangsal”, katanya tertawa. Diapun menerima saja. Sama seperti ketika dia harus menikah dengan putra teman bapaknya. Nama laki-laki yang menikahinya pada April 1936 itu adalah Koesdi.
Koesdi adalah salah seorang dari 9 pegawai pamong praja pertama di Kabupaten Jember. Pendidikannya, HIS Kediri yang ditarik ke Jember untuk membantu pekerjaan di kantor kabupaten. Saat itu kantornya di sebuah ruang kecil di Jalan Trunojoyo. Tepatnya di sebelah barat kantor PDAM yang dulu merupakan jagal atau tempat pembantaian hewan.
Suami Roekanti ini adalah kemenakan Wiryodinoto, Wedono Ngadiluwih, Kediri, yang diangkat sebagai Bupati Jember pertama. Menurut Roekanti, nama Notohadinegoro lebih dikenal bila dibandingkan dengan namanya sendiri, Wiryodinoto. Notohadinegoro adalah gelar yang diberikan oleh Mangkunegaran (Solo), karena mempersunting putri Keraton Solo.
Banyak yang dia ceritakan mengenai pertumbuhan Jember sejak ditetapkan sebagai kabupaten. Roekanti bangga menjadi warga Jember sehingga maju seperti saat ini. Dia mengikuti perkembangannya dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, karena almarhum suaminya kebetulan menjadi Kepala Tata Usaha PUK (sekarang DPUD).
Suaminya pensiun tahun 1959 dan meninggal dunia pada tahun 1973. Roekanti sendiri aktif di Perwari dan PWRI Ranting Patrang. Namun karena harus tinggal di Baratan, aktivitasnya sebagai anggota PWRI mulai surut. “Menawi wonten pertemuan, mboten wonten ingkang ngeteraken”, tuturnya. Tetapi setiap bulannya dia harus ke kota untuk mengambil uang pensiun yang Rp. 692.000 di Bank Jatim.
Lawuh nyambik.
Lantaran falsafah hidupnya yang nrimo dan sabar itulah, Roekanti bersama suaminya tidak mengenal istilah kekurangan. Walaupun anaknya sebelas orang dan harus menyelesaikan sekolahnya. “Pas-pasan, kemawon”, katanya merendah. Dia ceritakan, suatu saat pengeluaran keluarganya mengalami defisit. Maka jalan yang ditempuh adalah menjual rokok yang mereka buat bersama. Rokoknya merk Nastiti, kata sang eyang tertawa. Pembelinya adalah kusir dokar atau cikar yang lewat Jalan Trunojoyo.
Menurut penuturan putra ketiga Roekanti, Koesnindar yang pensiunan perwira AURI, pas-pasan menurutnya mempunyai makna demikian. Untuk hidup kesehariannya, sang bapak yang mencari beras. Sedang anak-anaknya yang mencari lauk pauknya. Ada yang cari sayur, ada yang mencari ikan di sungai. Atau menjual jasa sebagai tukang cat, tukang nglabur atau apa saja yang menghasilkan uang.
Menurut Kusnindar, seringkali mereka sekeluarga makan dengan lauk sayur krokot. Karena krokot ada dimana-mana dan tidak usah beli. Bahkan melahap nyambik tidak jarang mereka lakukan. Menurut putera kelima Roekanti, Koeswanto, salah seorang adiknya sangat pinter berburu nyambik di sungai. Itulah lauk paling nikmat yang mereka rasakan pada saat masa-masa sulit.
Masa-masa kehidupan yang pas-pasan sudah berlalu. Eyang Roekanti kini tinggal menikmati hasil didikan keras almarhum suaminya. Dua putranya pensiunan pamen TNI, pejabat Bank Indonesia, Perwira AURI dan PNS. Satu diantara putranya, Nurul Kusman pernah menjadi Bupati Jombang. Soal karir, orang tua tidak pernah mengarahkannya. Namun dasar keilmuan, disiplin diri dan semangat tinggi selalu ditanamkan oleh pasangan Koesdi dan Roekanti kepada anak anak mereka.
Kunci keberhasilan semuanya adalah karena ketaqwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain menerima segala sesuatunya tanpa “muring”. Dalam gambar tampak eyang Roekanti bersama beberapa putra-putrinya. Gambar lain adalah pasangan eyang Koesdi dan eyang Roekanti.
Eyang Roekanti sangat fasih menjelaskan nama putra-putrinya yang sebelas orang berikut pekerjaannya. Begitu pula ketika merinci 34 cucu dari kesebelas putra-putrinya. Namun ketika ditanya berapa buyut dan canggahnya, Roekanti tertawa ngakak sambil berkata, jangan tanya jumlah dan namanya. “Pokoknya, buanyak”, katanya.
Roekanti adalah sosok ibu periang yang demokratis. Dia tidak pernah menyuruh anak-anaknya jadi apa. Dia hanya berpesan agar anak-anaknya belajar dan bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab. Wanita yang kelihatan segar dan tidak pernah minum obat ini tidak punya kiat agar “awet urip”. Sebab yang membuat “awet urip” adalah Tuhan Yang Maha Esa, katanya. Yang penting menurutnya, nrimo, apa adanya dan mboten nate muring alias tidak pernah marah.
Eyang Roekanti yang kini tinggal bersama putri ketujuhnya, Nastuti Herawati, di Jalan Rasamala, Patrang, Jember ini masih membaca Panyebar Semangat. Paling suka makan dengan lauk sayur. Sedangkan daging, jarang sekali dijamahnya. Barangkali itu yang membuat sang eyang tetap sehat, pikir saya.
Dikepang.
Roekanti dilahirkan di Ngawi, 26 Januari 1918. Putri tunggal pasangan Sarjono dan Masmunah. Karena tugasnya sebagai pegawai kehutanan, pada tahun 1932 pasangan ini dipindah ke Bangsalsari, Jember. Roekanti sendiri yang bersekolah di HIS kelas dua, meneruskan pendidikannya di HIS Jember. Saat itu dia bersama kawan-kawannya banyak yang bersekolah di Jember.
Untuk bersekolah, pemerintah penjajahan Belanda menyediakan sepur (kereta api) khusus dari Tanggul ke Jember pulang pergi. Roekanti senang sekali bisa bersekolah dan banyak punya teman. Abonemen kereta api dari Bangsalsari ke Jember saat itu hanya 2 gulden per bulannya.
Ketika ditanya. dia sudah lupa dimana saja teman-teman sekolahnya yang abonemen sepur saat itu. Yang paling diingat adalah cara berpakaian anak sekolah saat itu. Seragam tidak ada, tetapi murid laki-lagi mengenakan sarung batik, jas tanpa dasi dan tanpa kopiah. Sedang anak perempuannya, pakai jarit dan berkebaya. Rambutnya di klabang, atau bahasa gaulnya dikepang.
Saat Roekanti mulai remaja, ibunya melarang dia melanjutkan sekolah HIS yang gedungnya kini ditempati SMP Negeri I Jember. Menurut ibunya, perempuan tidak perlu sekolah tinggi. “Kulo mrotol ngantos kelas gangsal”, katanya tertawa. Diapun menerima saja. Sama seperti ketika dia harus menikah dengan putra teman bapaknya. Nama laki-laki yang menikahinya pada April 1936 itu adalah Koesdi.
Koesdi adalah salah seorang dari 9 pegawai pamong praja pertama di Kabupaten Jember. Pendidikannya, HIS Kediri yang ditarik ke Jember untuk membantu pekerjaan di kantor kabupaten. Saat itu kantornya di sebuah ruang kecil di Jalan Trunojoyo. Tepatnya di sebelah barat kantor PDAM yang dulu merupakan jagal atau tempat pembantaian hewan.
Suami Roekanti ini adalah kemenakan Wiryodinoto, Wedono Ngadiluwih, Kediri, yang diangkat sebagai Bupati Jember pertama. Menurut Roekanti, nama Notohadinegoro lebih dikenal bila dibandingkan dengan namanya sendiri, Wiryodinoto. Notohadinegoro adalah gelar yang diberikan oleh Mangkunegaran (Solo), karena mempersunting putri Keraton Solo.
Banyak yang dia ceritakan mengenai pertumbuhan Jember sejak ditetapkan sebagai kabupaten. Roekanti bangga menjadi warga Jember sehingga maju seperti saat ini. Dia mengikuti perkembangannya dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, karena almarhum suaminya kebetulan menjadi Kepala Tata Usaha PUK (sekarang DPUD).
Suaminya pensiun tahun 1959 dan meninggal dunia pada tahun 1973. Roekanti sendiri aktif di Perwari dan PWRI Ranting Patrang. Namun karena harus tinggal di Baratan, aktivitasnya sebagai anggota PWRI mulai surut. “Menawi wonten pertemuan, mboten wonten ingkang ngeteraken”, tuturnya. Tetapi setiap bulannya dia harus ke kota untuk mengambil uang pensiun yang Rp. 692.000 di Bank Jatim.
Lawuh nyambik.
Lantaran falsafah hidupnya yang nrimo dan sabar itulah, Roekanti bersama suaminya tidak mengenal istilah kekurangan. Walaupun anaknya sebelas orang dan harus menyelesaikan sekolahnya. “Pas-pasan, kemawon”, katanya merendah. Dia ceritakan, suatu saat pengeluaran keluarganya mengalami defisit. Maka jalan yang ditempuh adalah menjual rokok yang mereka buat bersama. Rokoknya merk Nastiti, kata sang eyang tertawa. Pembelinya adalah kusir dokar atau cikar yang lewat Jalan Trunojoyo.
Menurut penuturan putra ketiga Roekanti, Koesnindar yang pensiunan perwira AURI, pas-pasan menurutnya mempunyai makna demikian. Untuk hidup kesehariannya, sang bapak yang mencari beras. Sedang anak-anaknya yang mencari lauk pauknya. Ada yang cari sayur, ada yang mencari ikan di sungai. Atau menjual jasa sebagai tukang cat, tukang nglabur atau apa saja yang menghasilkan uang.
Menurut Kusnindar, seringkali mereka sekeluarga makan dengan lauk sayur krokot. Karena krokot ada dimana-mana dan tidak usah beli. Bahkan melahap nyambik tidak jarang mereka lakukan. Menurut putera kelima Roekanti, Koeswanto, salah seorang adiknya sangat pinter berburu nyambik di sungai. Itulah lauk paling nikmat yang mereka rasakan pada saat masa-masa sulit.
Masa-masa kehidupan yang pas-pasan sudah berlalu. Eyang Roekanti kini tinggal menikmati hasil didikan keras almarhum suaminya. Dua putranya pensiunan pamen TNI, pejabat Bank Indonesia, Perwira AURI dan PNS. Satu diantara putranya, Nurul Kusman pernah menjadi Bupati Jombang. Soal karir, orang tua tidak pernah mengarahkannya. Namun dasar keilmuan, disiplin diri dan semangat tinggi selalu ditanamkan oleh pasangan Koesdi dan Roekanti kepada anak anak mereka.
Kunci keberhasilan semuanya adalah karena ketaqwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain menerima segala sesuatunya tanpa “muring”. Dalam gambar tampak eyang Roekanti bersama beberapa putra-putrinya. Gambar lain adalah pasangan eyang Koesdi dan eyang Roekanti.
1 komentar:
Paparannya Pakde keren, sangat bermanfaat buat saya. Matur sembah nuwun nggih Pakde Bagio.
Posting Komentar