Oleh : Imam Soebagio
Jika dia ingat kisah itu, tertawanya tak tertahankan lagi. Kisah itu tak mudah dia lupakan, karena menyangkut hidup mati dirinya dan kebenciannya terhadap kaum penjajah. Dia bisa menceritakannya berulang kali, kepada siapa saja, termasuk kepada anak cucunya serta tamunya yang lebih muda dengan lancar. Usianya sudah senja, hampir seabad, tetapi ingatannya masih tajam. Cara bicaranya juga masih teges, walaupun terkadang terasa lamban karena ketuaannya. Itulah K. Prawirodiwiryo yang masih enak diajak bicara.
Agar kisahnya selalu diingat anak cucunya, ketika ia punya rejeki, dua tahun lalu didirikanlah sebuah monumen di pojok halaman rumahnya. Di sebelah barat lapangan Bangsalsari, Jember. Monumen seharga satu setengah juta itu menggambarkan seorang pemuda pejuang memukul tentara Belanda yang memegang senapan dengan helm baja milik sang tentara.
Huruf K yang ada didepan nama Prawirodiwiryo adalah nama kecil Kusmin yang dilahirkan di Warujayeng, Nganjuk 14 Oktober 1914. Bapaknya yang petani, Kaspani Ronoprawiro mengajak pindah ke Semboro. Walaupun berasal dari keluarga miskin tetapi Kusmin kecil punya cita-cita menjadi pejuang. Kalau bisa angkat senjata untuk melawan penjajah. Kalau tidak bisa, jadi guru, katanya.
Untuk meraih cita-citanya usai menyelesaikan sekolah rakyat di Semboro, Kusmin melanjutkan sekolahnya di Vervoorschool di Tanggul. Setelah menyelesaikan sekolah guru di Surabaya, akhirnya Kusmin jadi guru di Taman Siswa. Di sekolah ini tidak lama karena bubar kekurangan murid. Administratur pabrik gula Semboro yang Belanda melarang anak-anak karyawan pabriknya sekolah disini. Masalahnya murid-murid Taman Siswa kalau latihan kepanduan KBI, mengenakan halsdoek merah putih.
Setelah bubar kemudian Kusmin mendirikan sekolah partikelir, yakni Mardi Putra. Sekolah yang masih onderbouw Taman Siswa. Muridnya cukup banyak, sebagian besar dari Taman Siswa dulu. Disini KBI berkembang, syaratnya kalau mengenakan halsdoek tidak boleh lewat pabrik agar tidak diketahui Belanda. Sambil jadi guru, Kusmin bergabung dalam satuan gerilya dari Kompi Alap-alap. Dia masih ingat komandan kompinya adalah Siswoyo. Kusmin sendiri yang dianggap punya pendidikan, diangkat sebagai semacam hakim.
Apa adanya.
Beristeri Samsirah yang usianya kini 92 tahun, keluarga Prawirodiwiryo dianugerahi lima anak. Walaupun dia kepala SD dan isterinya guru SD, keluarga ini berhasil mengantar putra-putrinya menjadi “orang”. Falsafah hidupnya sederhana, apa adanya dan nrimo ing pandum. “Syukuri nikmat dan pemberian Tuhan”, katanya. Pernah dia hanya memiliki satu singlet, satu baju, satu celana dan sepasang sepatu yang dia pakai untuk mengajar. Supaya anak-anaknya bisa sekolah.
Untuk mendidik anak-anaknya, dia juga tidak punya target. Karena keluarga ini memang tidak punya apa-apa. Lha wong bisa makan saja sudah untung pada saat itu. “Mengalir saja menyesuaikan dengan jaman, walaupun dia ingin anak-anaknya jadi guru”, tuturnya kepada “Gema Lansia”. Alhamdulilah, anak-anaknya berhasil semua. Bahkan cucunya ada yang tengah belajar S3 di UGM Yogyakarta..
Pertama Dra. Samsi Kusdarini Pensiunan guru SMA
Kedua Drs. Kusnusantoso Pengawas Dikmenum Kanwil Diknas
Ketiga Prof. DR. dr. Samsu Budiono Dosen FK Unair dan pemilik RS Mata Klampis
Keempat Dr. Samsu Haris Siswanto RSUD Pasuruan
Kelima Ir. Samsu Ariana Pribadi Deperindag Surabaya
Lelaki lansia ini sangat mensyukuri nikmat Tuhan. Masih tetap bertahan tinggal di Bangsalsari menemani cucunya. Isterinya yang juga lansia tinggal di Surabaya bersama salah seorang putranya karena dalam perawatan akibat stroke. Hari-harinya dia isi dengan membaca apa saja, menikmati acara sinetron di televisi. Sekali-sekali bernostalgia dengan album yang berisi foto anak-anaknya, berikut 16 cucu dan 6 buyut yang dimilikinya. Suasana senang dan gembira ini menjadi obat agar awet urip, katanya
Teman-temannya sudah melarang dia beraktifitas diluar rumah, sehingga kepengrusan PWRI Ranting Bangsalsari ditinggalkannya sejak dua tahun lalu. Begitu pula kepengurusan KPRI diserahkan kepada teman-temannya yang lebih muda.
Cerita Kusmin tua ini tidak membosankan. Banyak hal yang tidak bisa dilupakan dalam hidupnya. Barangkali bisa diteladani oleh anak-anak jaman sekarang agar mau mandiri, penuh semangat, tetap berjuang dan pantang berputus asa. Seperti pada tahun 1925 sampai 1927 saat Kusmin melanjutkan sekolahnya Vervoorschool di Tanggul. Setiap hari dia harus jalan kaki dari Semboro ke Tanggul sejauh 6 kilometer pulang pergi. Makannya sekali di pagi hari di pasar Tanggul. Menu tetapnya semur cecek yang harganya satu benggol (dua setengah sen).
Pada Nopember 1947 saat dalam perjalanan dari Semboro ke Bagorejo, dia bersama dua temannya diciduk Belanda. Dengan truk yang dikawal tentara Belanda bersenjata laras panjang dan bayonet terhunus menciduki orang-orang di sawah untuk dibawa ke pabrik gula Kencong. Sebelum masuk pabrik truk yang ditumpanginya berhenti, maksudnya menghampiri beberapa orang di sawah. Saat itu yang mengawal di bak belakang hanya seorang tentara.
Dari bisik-bisik kecil para tahanan, akhirnya sang tentara di keroyok ramai-ramai. Kusmin nyaris kena tusuk bayonet. Saat menangkis bayonet, tangannya menyambar helm sang tentara. Antara sadar dan tidak, helm baja itu dia pukul-pukulkan ke kepala tentara Belanda yang tidak diketahui nama dan pangkatnya. Kusmin hanya tahu sang tentara terjatuh dan berdarah-darah. Tentara lainnya yang ada di sawah melihat kejadian itu menembakkan senjatanya.
Dan satu truk tahanan pun kabur. Cerita K. Prawirodiwiryo tertawa terbahak-bahak.
Agar kisahnya selalu diingat anak cucunya, ketika ia punya rejeki, dua tahun lalu didirikanlah sebuah monumen di pojok halaman rumahnya. Di sebelah barat lapangan Bangsalsari, Jember. Monumen seharga satu setengah juta itu menggambarkan seorang pemuda pejuang memukul tentara Belanda yang memegang senapan dengan helm baja milik sang tentara.
Huruf K yang ada didepan nama Prawirodiwiryo adalah nama kecil Kusmin yang dilahirkan di Warujayeng, Nganjuk 14 Oktober 1914. Bapaknya yang petani, Kaspani Ronoprawiro mengajak pindah ke Semboro. Walaupun berasal dari keluarga miskin tetapi Kusmin kecil punya cita-cita menjadi pejuang. Kalau bisa angkat senjata untuk melawan penjajah. Kalau tidak bisa, jadi guru, katanya.
Untuk meraih cita-citanya usai menyelesaikan sekolah rakyat di Semboro, Kusmin melanjutkan sekolahnya di Vervoorschool di Tanggul. Setelah menyelesaikan sekolah guru di Surabaya, akhirnya Kusmin jadi guru di Taman Siswa. Di sekolah ini tidak lama karena bubar kekurangan murid. Administratur pabrik gula Semboro yang Belanda melarang anak-anak karyawan pabriknya sekolah disini. Masalahnya murid-murid Taman Siswa kalau latihan kepanduan KBI, mengenakan halsdoek merah putih.
Setelah bubar kemudian Kusmin mendirikan sekolah partikelir, yakni Mardi Putra. Sekolah yang masih onderbouw Taman Siswa. Muridnya cukup banyak, sebagian besar dari Taman Siswa dulu. Disini KBI berkembang, syaratnya kalau mengenakan halsdoek tidak boleh lewat pabrik agar tidak diketahui Belanda. Sambil jadi guru, Kusmin bergabung dalam satuan gerilya dari Kompi Alap-alap. Dia masih ingat komandan kompinya adalah Siswoyo. Kusmin sendiri yang dianggap punya pendidikan, diangkat sebagai semacam hakim.
Apa adanya.
Beristeri Samsirah yang usianya kini 92 tahun, keluarga Prawirodiwiryo dianugerahi lima anak. Walaupun dia kepala SD dan isterinya guru SD, keluarga ini berhasil mengantar putra-putrinya menjadi “orang”. Falsafah hidupnya sederhana, apa adanya dan nrimo ing pandum. “Syukuri nikmat dan pemberian Tuhan”, katanya. Pernah dia hanya memiliki satu singlet, satu baju, satu celana dan sepasang sepatu yang dia pakai untuk mengajar. Supaya anak-anaknya bisa sekolah.
Untuk mendidik anak-anaknya, dia juga tidak punya target. Karena keluarga ini memang tidak punya apa-apa. Lha wong bisa makan saja sudah untung pada saat itu. “Mengalir saja menyesuaikan dengan jaman, walaupun dia ingin anak-anaknya jadi guru”, tuturnya kepada “Gema Lansia”. Alhamdulilah, anak-anaknya berhasil semua. Bahkan cucunya ada yang tengah belajar S3 di UGM Yogyakarta..
Pertama Dra. Samsi Kusdarini Pensiunan guru SMA
Kedua Drs. Kusnusantoso Pengawas Dikmenum Kanwil Diknas
Ketiga Prof. DR. dr. Samsu Budiono Dosen FK Unair dan pemilik RS Mata Klampis
Keempat Dr. Samsu Haris Siswanto RSUD Pasuruan
Kelima Ir. Samsu Ariana Pribadi Deperindag Surabaya
Lelaki lansia ini sangat mensyukuri nikmat Tuhan. Masih tetap bertahan tinggal di Bangsalsari menemani cucunya. Isterinya yang juga lansia tinggal di Surabaya bersama salah seorang putranya karena dalam perawatan akibat stroke. Hari-harinya dia isi dengan membaca apa saja, menikmati acara sinetron di televisi. Sekali-sekali bernostalgia dengan album yang berisi foto anak-anaknya, berikut 16 cucu dan 6 buyut yang dimilikinya. Suasana senang dan gembira ini menjadi obat agar awet urip, katanya
Teman-temannya sudah melarang dia beraktifitas diluar rumah, sehingga kepengrusan PWRI Ranting Bangsalsari ditinggalkannya sejak dua tahun lalu. Begitu pula kepengurusan KPRI diserahkan kepada teman-temannya yang lebih muda.
Cerita Kusmin tua ini tidak membosankan. Banyak hal yang tidak bisa dilupakan dalam hidupnya. Barangkali bisa diteladani oleh anak-anak jaman sekarang agar mau mandiri, penuh semangat, tetap berjuang dan pantang berputus asa. Seperti pada tahun 1925 sampai 1927 saat Kusmin melanjutkan sekolahnya Vervoorschool di Tanggul. Setiap hari dia harus jalan kaki dari Semboro ke Tanggul sejauh 6 kilometer pulang pergi. Makannya sekali di pagi hari di pasar Tanggul. Menu tetapnya semur cecek yang harganya satu benggol (dua setengah sen).
Pada Nopember 1947 saat dalam perjalanan dari Semboro ke Bagorejo, dia bersama dua temannya diciduk Belanda. Dengan truk yang dikawal tentara Belanda bersenjata laras panjang dan bayonet terhunus menciduki orang-orang di sawah untuk dibawa ke pabrik gula Kencong. Sebelum masuk pabrik truk yang ditumpanginya berhenti, maksudnya menghampiri beberapa orang di sawah. Saat itu yang mengawal di bak belakang hanya seorang tentara.
Dari bisik-bisik kecil para tahanan, akhirnya sang tentara di keroyok ramai-ramai. Kusmin nyaris kena tusuk bayonet. Saat menangkis bayonet, tangannya menyambar helm sang tentara. Antara sadar dan tidak, helm baja itu dia pukul-pukulkan ke kepala tentara Belanda yang tidak diketahui nama dan pangkatnya. Kusmin hanya tahu sang tentara terjatuh dan berdarah-darah. Tentara lainnya yang ada di sawah melihat kejadian itu menembakkan senjatanya.
Dan satu truk tahanan pun kabur. Cerita K. Prawirodiwiryo tertawa terbahak-bahak.
2 komentar:
pakde bagio saya sudah baca cerita mbah kus bangsal sari dari kalimantan timur,saya cucu dari semboro utara pabrik gula putra ibu badriyah
maaf, saya baru sempat balas. Pak Prawiro baru saja almarhum. Bisa kirim surat kepada saya ?
Posting Komentar