Oleh : Pakde Bagio
Matanya terpejam, bibirnya bergetar saat Samiun melantunkan lagu Yen ing tawang ono lintang. Terasa sangat menjiwai dengan iringan gitar yang dipetiknya sendiri. Seperti itulah gaya sosok Samiun, sang penyanyi jalanan, menyanyikan lagu kroncong. Dari rumah ke rumah, dari satu kampung ke kampung lain. Mengumpulkan recehan untuk dibawa pulang buat makan sehari-hari.
Tetapi Samiun tidak hanya piawai menyanyikan lagu-lagu yang beriramakan keroncong saja. Jenis lagu lainnya seperti langgam, campursari sampai ndangdut bisa dia dendangkan. Dan dia sangat faham di daerah mana harus keroncongan, di daerah mana harus ndangdutan atau campur sari Maklum, masa kerja Samiun sebagai tukang ngamen sudah dilakoninya sejak tahun 1963 ketika dia mempersiapkan perkawinanya.
Saat itu Samiun baru saja berhenti sebagai tukang tabuh saron dan gambang ketoprak keliling ”Wargo Budoyo” dari Jatisari, Ambulu. Sebagai seniman keliling penghasilan Samiun terasa kurang sampai suatu saat bertemu pengembara (istilah pemusik jalanan saat itu) di pasar Karanganyar. Karena Samiun merasa bisa menyanyi keroncong dan memainkan alat musik maka di bergabung dengan para pengembara spesial musik keroncong itu.
Dia masih ingat teman2 pengembaranya yang sekarang sudah almarhum. Mereka adalah Sinto (biola), Liting (melodi), Matrimus (cok), Bagong (pengirim melodi). Sedang Samiun sendiri kebagian alat musik selo. Pengembara ini keliling ke berbagai kota di Jawa Timur. Hasilnya lumayan, kata Samiun mengenang. Bisa untuk membiayai pernikahannya dengan gadis Karanganyar bernama Samiati.
Jaman Pak Harto.
Setelah perkawinannya membuahkan anak, maka Samiun yang kelahiran Kasian Kecamatan Puger tahun 1938 terpaksa harus pulang ke kampung halaman isterinya di Karanganyar. Disana dia bekerja sebagai kuli di gudang tembakau. Kalau musim tembakau lewat, maka Samiun mengamen kembali dengan berbekal gitar dan kepandaiannya menyanyi.
Usianya semakin renta, Samiun membatasi diri untuk bekerja sedari pagi sampai bedug lohor. Sampai saat itu uang yang berhasil dikumpulkannya atau rata-rata sekitar Rp. 30 ribu. ”Yah, cukup untuk makan sederhana bersama isteri dan cucunya”, katanya sambil menghirup rokok.
Penghasilan sebanyak itu masih dipotong ongkos perjalanan. Dari Karanganyar ke Ajung pulang pergi sebesar Rp. 6 ribu. Ongkos angkot dari Ajung ke kota Jember bolak balik Rp. 3 ribu. Ongkos itu sudah didiskon 50 persen, kata Samiun. Sebab para sopir itu sudah kenal semua.
Sisanya dibawa pulang semua. Selama ngamen dia tidak makan di warung, katanya sayang uangnya. Yang penting menurut dia, rokok tetep ngebul. Hal yang beda dengan jamannya Pak Harto, kata Samiun. Waktu itu dengan penghasilan Rp. 15 ribu, Samiun bisa makan di warung sampai dua kali. Bahkan bisa menyisihkan untuk menabung. Sekarang uang rasanya seperti sampah, angkanya besar tapi nilainya kecil sekali.
Ketika ditanya sampai kapan Samiun ngamen, ayah 7 anak dan kakek 7 anak ini menjawab polos. Ya sampai nggak kuat jalan, sebab isterinya sudah tidak bekerja lagi. Dulu buka warung kopi, sekarang sudah tutup karena kalah dengan harga minyak tanah. Selain tekor terus, isterinya juga sudah mulai tua.
Banyak suka dan duka yang dialami Samiun selama 46 tahun menjadi pengamen. Sukanya, dia selalu gembira dengan ratusan lagu yang masih dihafalnya. Bahkan kalau terpaksa harus mengamen ke Bondowoso, Banyuwangi, Situbondo atau Lumajang, dia cukup bermalam di kediaman teman teman se profesinya tukang amen. Kalau ke luar kota biasanya sampai sebulan, sampai uangnya cukup banyak untuk dibawa pulang.
Dukanya kalau hari hujan. Terkadang malah tidak menghasilkan uang, bahkan untuk ongkos pulang saja tidak dia miliki. Atau saat mendendangkan lagu di depan pintu pagar, tiba tiba pintu rumah ditutup. Dorrr. Nelongso banget, katanya lagi, tetapi dia memakluminya karena situasi perekonomian saat ini sedang kurang baik. Termasuk sudah tidak diterimanya BLT bagi keluarganya yang pernah dia terima dua kali.
”Ya sudah, kita terima apa adanya”, kata Samiun sembari menutup pembicaraan dengan lagu ”Bandar Jakarta”.
Malang tak dapat ditolak.
Minggu (19/12) merupakan hari yang paling apes baginya selama hidup di dunia ini. Sekitar jam 12 tengah hari saat menunggu angkot untuk pulang ke Ambulu, di sebuah Poskamling di Muktisari Samiun ditangkap polisi. Dimasukkan secara paksa ke dalam truk yang sudah berisi pengamen muda-muda dengan potongan punk. Sejak sore sampai Senin pagi Samniun dan para pengamen lainnya ditahan dalam tahanan Polres Jember di Jalan Kartini.
Senin pagi harinya Samiun di sidang oleh Pengadilan Negeri Jember. Dia dijatuhi denda Rp. 2 ribu karena dianggap melanggar tata tertib umum dengan mengamen. Samiun ikhlas ditahan polisi walau tak mau makan nasi bungkusan di tahanan. Samiun juga ikhlas dijatuhi hukuman oleh pengadilan walaupun dia merasa tidak bersalah. Karena niatnya mengamen adalah menghibur orang sambil mencari nafkah.
Dendanya bahkan dibayari oleh seseorang yang tidak dia kenal. Bahkan ongkos pulangnya diberi pasangan suami isteri yang sering dia datangi saat mengamen. Yang Samiun sesalkan adalah gitar-nya dirampas oleh Pengadilan Negeri Jember. Padahal alat musik itu adalah satu-satunya harta berharga miliknya. Cuma gitar tua itu.
”Betul betul nggak punya peri kemanusiaan”, katanya kepada penulis sambil menangis. Tangisan sedih seorang lansia.
1 komentar:
Buat para sahabat yang kebetulan punya gitar dan tidak dipakai lagi, kalau nggak keberatan berikan pada lansia Samiun ini, ya. Untuk ngamen buat makan sekeluarga. Terima kasih.
Posting Komentar