JADI KOKI, SIAPA TAKUT ?



Oleh : Anandia

Sudah empat belas bulan anak bungsu saya, Anandia, berada di Dubai, Uni Emirat Arab. Dia memang tidak melanjutkan di S1 karena cepat ingin bekerja dan cepat bisa melanglang buana. Berkat kesungguhan, ketekunan dan semangatnya dia mulai menapaki cita-citanya. Obsesinya, keliling dunia gratis. kalau sudah cukup, dia akan kembali ke Jember membuka warung kecil-kecilan tetapi bernuansa internasional. Sambil mengajar dan menulis di bidang kuliner. Inilah salah satu tulisannya.

Ketika masih duduk di bangku SD, seperti lazimnya anak-anak sebaya, saya menyukai mainan yang bernama tamiya. Mainan mobil balap yang menggunakan baterai dan suku cadang agar menang dalam balapan. Tetapi karena bapak saya pegawai rendahan, maka tamiya saya tetap saja butut. Tidak pernah menang balapan karena baterai yang saya gunakan terkadang baterai bekas. Suku cadangpun tidak pernah mengalami up grade.

Maka sejak itu saya bercita-cita untuk bisa ke luar negeri. Khususnya ke Jepang, agar bisa bekerja di pabrik tamiya. Sehingga kalau saya bekerja disana, saya akan kenyang main tamiya secara gratis.

Sampai tahun 2005, ketika duduk kelas tiga di SMA Negeri II Jember, saya masih punya obsesi ke luar negeri. Pada saat itu masalah kuliner baru diangkat media massa, baik elektronik maupun koran dan tabloid. Di televisi saya tertarik oleh penampilan Pak Bondan, Bu Rika dan Pak Rudy Choirudin.

Saya merasa, melalui kuliner saya bisa ke luar negeri. Maka koki yang dalam bahasa sono disebut Cook menjadi pilihan saya. Dengan jabatan koki, saya yakin bisa keliling dunia. Oleh karenanya, sejak saat itu saya punya cita-cita jadi koki kapal pesiar. Maka saya memilih pendidikan di SHS (Surabaya Hotel School). Jurusan kitchen.

Ternyata mimpi itu memang jadi kenyataan. Pada ulang tahun saya yang ke-23 pada 28 April 2009, saya bahkan mendapat hadiah berupa promosi menjadi First Cook di Restaurant Le Pain Quotidien di mall terbesar Dubai, yaitu Mall of Emirates.

Sosok koki.
Sebelumnya, selama sebelas bulan saya menjadi koki di Le Pain Quotidien, rumah makan Perancis milik orang Belgia di Dubai, Uni Emirat Arab. Tidak mudah bisa bergabung dengan manajemen Perancis. Selain harus mumpuni memainkan pisau dapur, meracik bumbu dan memainkan penggorengan, syarat yang harus dipenuhi adalah penguasaan beberapa bahasa. Bahasa Inggris, Perancis, Arab dan Cina.

Selasa dinihari, 28 April 2009, saya menerima banyak SMS dan e-mail. Selain menyampaikan ucapan selamat ulang tahun, kebanyakan adik-adik kelas minta didoakan agar lulus Unas SMA 2009. Selain itu mereka minta saran, sebaiknya kalau sudah lulus SMA kuliah di S1 atau D1.

Pastinya, saya tidak bisa menjawab karena saya tidak tahu kondisi mereka. Untuk yang punya kemampuan akademis tinggi dan kemampuan finansial keluarga yang cukup, seyogyanya kuliah ke program studi seperti cita-cita mereka sejak awal. Kalau kepingin cepat bekerja, masuk saja D1. Saya memilih D1 karena bapak saya pensiun, sedangkan kakak-kakak saya harus menyelesaikan studinya di perguruan tinggi.

Kini Program Diploma seperti yang saya ikuti bukanlah hal boleh dipandang sebelah mata. Apalagi menjadi koki atau culinarian adalah professional yang dibutuhkan dunia. Sepanjang penduduk dunia masih mau makan, maka koki masih dibutuhkan. Bagi masyarakat barat, koki adalah profesi tehnik. Sebab tidak semua orang mahir melakukannya. Di Perancis, menjadi koki sama terhormatnya dengan insinyur

Seorang culinarian juga dituntut kredibel. Dia harus baik, harus menguasai bidangnya dan tidak hanya pintar memasak dan mengolah bahan-bahan makanan. Namun juga harus mampu mengembangkan ide dan gagasan serta memadukan nutrisi dengan presentasi yang baik dan selalu update tentang culinary fashion.

Percaya atau tidak, koki Indonesia dicari orang di Eropa. Bahkan di Uni Emirat Arab, koki asal Indonesia mendapat tempat terhormat. Sebab anak-anak Indonesia penuh loyalitas, mudah bergaul, dikenal sopan dan gathe’an alias mudah mengerti kalau ada sesuatu (menu) baru. Apalagi mereka masih muda-muda yang rata-rata berpendidikan D1 atau D3.

Menjawab pertanyaan adik-adik yang baru menyelesaikan Unas 2009, maka saya katakana bahwa sekolah itu penting. Untuk mempersiapkan diri menghadapi persaingan yang semakin ketat. Kalau kemampuannya cukup, pilihlan S1. Kalau kemampuannya pas-pasan dan segera ingin bekerja, pilihkan Program Diploma. Selamat berjuang.


0 komentar:

Posting Komentar