LANSIA GURUNYA GURU



Oleh : Pakde Bagio

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
Sekitar tahun 1960-an, saya mengenal beliau karena sosok ini adalah guru saya di SMP Nasional Jember. Saya sangat mengenal sosok ini karena Pak Mekto, demikian panggilan Soemekto adalah guru yang paling sabar. Berbeda dengan perilaku saya dan beberapa teman yang tergolong nakal, sehingga kami mudah dikenal teman sekolah dan para guru termasuk Pak Mekto.
Saya sudah lupa Pak Mekto ini mengajar pelajaran apa, tetapi Pak Mekto selalu ingat saya. Bahkan Pak Mekto selalu memanggil saya kalau ketemu dengan sebutan “anakku”. Setengah abad berlalu kini saya dan Pak Mekto bertemu kembali dalam PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia). Sebuah organisasi para pensiunan PNS.
Saat bertemu sebulan sekali dalam pertemuan PWRI, Pak Mekto selalu duduk disebelah saya. Terkadang beliau cerita hal-hal yang lucu-lucu saat bertugas sebagai guru. Bahkan kalau ada yang memperhatikan kami mengobrol, Pak Mekto suka nyeletuk. Anak ini dulu murid saya yang nakal, katanya sambil menunjuk saya. Kamipun tertawa. Setengah abad berlalu, tentunya saya tidak nakal lagi seperti dulu ketika masih sekolah.
Pak Mekto dilahirkan di Kediri pada 15 Agustus 1930. Berarti usianya hampir 81 tahun. Daya ingatnya masih tajam, pandangannyapun tidak bermasalah. Mungkin karena faktor usia maka jalannya tampak mulai lamban. Sampai saat ini telah dikaruniai 6 putri dengan 9 cucu dan seorang buyut. Tinggal berdua bersama isteri di Jalan Bangka VI Jember.
Masih fasih menceritakan riwayat pendidikannya, Pak Mekto bercerita. Menamatkan Europen School di Rogojampi, kemudian menamatkan SMP dan SMA di Kediri. Setelah itu melanjutkan pendidikan di Kwek School 2,5 tahun yang kemudian berubah menjadi SGAK di Malang. Berikutnya mengikuti pendidikan B.I Biologi di Bandung dan mendapat TID (Tunjangan Ikatan Dinas). Baru kemudian tahun 1954 mengajar di SGB di Jember. Begitu seterusnya sampai menjadi Kepala SGA Jember.
Yang membahagiakan dirinya adalah rasa setia kawan para muridnya di SGB dan SGA jaman dulu. Mereka tak melupakan gurunya. Mereka menjadi Kepala Sekolah, pejabat di Pemda atau Dikbud (sekarang Diknas) atau guru biasa. “Kebanyakan mereka sudah pensiun semua, seperti saya”, kata Pak Mekto. Yang mengharukan baginya adalah acara halal-bihalal setiap tahun selalu diadakan di kediaman Pak Mekto. Semuanya di gotong royong oleh mantan murid2nya itu. Ada sekitar 80-an pensiunan guru yang masih setia berhalal-bihalal di rumah saya, tutur Pak Mekto.
Para pensiunan guru murid Pak Mekto itu tidak mudah melupakan sosok pendidik seperti Pak Mekto. Pak Mekto adalah sosok pendidik yang mencetak banyak guru dan pendidik anak bangsa, tutur Ahmadi pensiunan guru mantan murid Pak Mekto.
Ada yang menarik dari diri pak guru yang sudah sepuh ini. Katanya, mengajar tidak boleh disertai kekerasan. “Kekerasan itu peninggalan jaman penjajahan”, katanya. Mengajar yang baik adalah memberi keteladanan, mentransfer ilmu yang selalu berkembang dengan penuh inovasi dan menganggap siswa adalah teman kita. Itulah sebabnya kini guru diberikan tunjangan yang besar agar mereka belajar terus sambil mencari sesuatu yang baru sesuai bidang ilmu yang menjadi tugasnya.
Di organisasi PWRI kelompok IV Ranting Sumbersari, Jember, Pak Mekto dikenal sebagai penabung setia. Setiap bulan Pak Mekto selalu menabung antara 200 sampai 250 ribu rupiah. “Koq banyak ?”, tanya saya. Lansia yang murah senyum itu menjelaskan bahwa kita harus menyisihkan penghasilan kita untuk ditabung. Gunanya, barangkali ada keperluan mendadak atau emergency. Setidak-tidaknya diambil menjelang Lebaran untuk membahagiaan para cucu dan buyut.

0 komentar:

Posting Komentar