Oleh : Dra. Hj. Soeprapti Soedjatno
Berbicara dengan pasangan suami isteri Poernomo terasa sangat sejuknya. Tutur kata pasangan priyayi sepuh ini terasa sangat santun. Tidak menggururi, namun penuh makna, dengan sikap hidup dalam kesederhanaan. Maklumlah Poernomo, 75 tahun, yang pensiunan guru SPG Jember ini lulusan PTPG Jurusan Paedagogik. Sedangkan isterinya Soetiati, 70 tahun, lulusan SGTK. Lagipula, keduanya masih aktif di Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal).
Kehidupan sederhana mantan gurunya para guru ini ternyata mampu mengantar putra putrinya menjadi “tukang insinyur”. Walaupun penuh keprihatinan dan kesederhanaan. Katakanlah, saat baru diangkat sebagai PNS dengan tugas sebagai guru SGTK Negeri Banjarmasin tahun 1962, sehari penuh dia tidak di rumah. Untuk memenuhi panggilan jiwa sebagai pendidik sekaligus untuk menopang kebutuhan hidupnya, sepanjang hari dia harus berada di luar rumah. Sebagai guru di SKTK, SGKP, SGPD, SPG I dan SPSA.
Hal itu dikerjakannya selam 8 tahun. Pekerjaan rangkap inilah yang membuat Poernomo semakin mantap hidupnya dan semakin mensyukuri hidup. Bahwa untuk hidup, orang harus berjuang, penuh kesabaran dan tawakkal.
Makan bubur.
Beruntung Poernomo punya isteri yang sabar. Maklumlah, masih ada hubungan famili. Isterinya, Soetiati dilahirkan di Jambi, 3 Juni 1939. Saat situasi ekonomi masih sulit di Banjarmasin, Soetiati tidak bisa membantu mencari nafkah karena harus merawat tiga anak mereka yang masih kecil. ”Kalau beras habis, kami biasa makan bubur”, kenang Soetiati.
Poernomo anak keempat dari lima bersaudara adalah putra pasangan Jayus Karto Soewignyo dan Sumirah. Dilahirkan di Kaliampo. Pringsurat, Temanggung Jawa Tengah. Sekolahnya tidak mulus karena harus berpindah-pindah lantaran situasi awal kemerdekaan negeri ini. Lulus Sekolah Rakyat tahun 1950 setelah menjelajah berbagai sekolah di SR Pegadon, Kendal kemudian SR Bojo, Semarang Barat, SR Kaliurang, SR Wadas Lintang di Wonosob dan lulus di SR Longkrang II di kota yang sama.
Di SMP juga demikian. Semula bersekolah di SMP Wonosobo, pindah ke SMP Baton Magelang, kemudian SMP III Yogyakarta. Selanjutnya masuk SMA Yogyakarta tahun 1956 dan melanjutkan pendidikan ke Sanata Darma. Lulus Sanata Darma tahun 1959. Namun, karena ada peraturan baru dari Meteri Pendidikan maka dia baru dinyatakan lulus ujian negara tahun 1961.
Makin lama kehidupan keluarga Poernomo semakin membaik, apalagi sejak 1 Juli 1963 pindah mengajar di SPG Negeri Jember. Tugas pasangan ini kemudian menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang perguruan tinggi. ”Alhamdulilah, walaupun anak-anak tidak menerima beasiswa, mereka berhasil menyelesaikan pendidikannya”, kata Bu Poer kepada Gema Lansia.
Kemudian dimulai dari anak angkatnya membiayai anak-anak Pak Poer yang lain. Demikian seterusnya berjenjang, yang sudah bekerja ikut membantu membiayai kuliah adik-adiknya. Putra putri mereka lulusan lulusan ITB dan ITS. Bahkan menantunya juga para insinyur. Hanya yang bungsu saat ini masih tinggal ujian akhir di Fakultas Geologi di UPN Bandung.
Hari-hari tuanya, kini diisi Poernomo dengan apa saja yang bisa dilakukan, termasuk merawat tanaman bungu di halaman rumahnya. Menjadi Penasehat Pengurus PWRI Cabang Jember dan menjadi anggota biasa Pangestu namun selalu memberikan olah rasa . Atau menulis, membuat catatan ringan yang kebanyakan mengenai falsafah hidup untuk majalah Dwija Wara.
Semangat Pak Poer bersama isteri untuk menjadikan putra-putrinya berpendidikan tinggi dan berhasil “menjadi orang” patutlah diacungi jempol. Pasangan pendidik ini sejak awal selalu tabah menghadapi tantangan masa depan yang dilaluinya dengan senyum khas Pak Poer. Semuanya dilakoninya dalam kesederhanaan hidup sesuai moto : “Pingin gesang ingkang wajar lan narimo ing pandum”.
No. Anak Menantu Tinggal di
1. Ir. Hestu Wiji Nugroho Sringatin Jakarta
2. Ir. Ning Nastiti Ir. Edy Sarwono Cilacap
3. Sigit Respati, BSc Esti Hartini, SE Jember
4. Nur Cahyani, ST Ir. Sendy Yulianto Serpong, Banten
5. (Alm) Gunawan Budi R -
6. Sunarno, ST Siti Aminah, ST Ujung Pandang
7. Harso Soetoko (kuliah di Geologi Bandung) Bandung
Cintai kebenaran.
Tentang biaya pendidikan putra-putrinya, Pak Poer yang pengagum Bung Karno ini menjelaskan semuanya ditanggung bersama. Putri angkat keluarga ini, Gianti yang kini tinggal bersama suaminya di Surabaya, mengawali biaya kuliah Hestu bersama Pak Poer. Kemudian berturut-turut Gianti bersama Hestu membiayai adik-adiknya. Demikian seterusnya sampai putra bungsu Pak Poer yang tinggal menyelesaikan skripsi dibiayai oleh kakak-kakaknya.
Menanggapi keadaan dunia yang semakin edan, Pak Poer mengharap agar kita semua mencintai kebenaran, terutama mencintai Tuhan. Oleh karenanya, seyogyanya kita membiasakan diri untuk hidup sederhana, tidak terlalu mengejar kepuasan duniawi.
Ketika ditanya, apa resep hidup yang membuat panjang umur. Pak Poer yang selalu didamping isterinya menjelaskan, makan apa adanya. Kurangi yang manis-manis dan lauk yang menemani makan suami isteri ini cukup sayur bening dengan tahu dan tempe. Pasangan yang tinggal berdua di Jalan Letjen Soeprapto XA/63 Jember ini, masih membaca Panyebar Semangat dan nonton berita di televisi.
Lebaran kemarin putra-putri Pak Poer bersama ke-13 cucunya datang ke Jember. Inilah yang membuat Pak Poer bersama isterinya Soetiati mensyukuri nikmat. Dan Nopember mendatang, Pak Poer bersama isterinya mengunjungi putra-putrinya yang ada di luar kota. Dimulai dari Cilacap, sambil menunggu putranya yang akan melahirkan.
Kehidupan sederhana mantan gurunya para guru ini ternyata mampu mengantar putra putrinya menjadi “tukang insinyur”. Walaupun penuh keprihatinan dan kesederhanaan. Katakanlah, saat baru diangkat sebagai PNS dengan tugas sebagai guru SGTK Negeri Banjarmasin tahun 1962, sehari penuh dia tidak di rumah. Untuk memenuhi panggilan jiwa sebagai pendidik sekaligus untuk menopang kebutuhan hidupnya, sepanjang hari dia harus berada di luar rumah. Sebagai guru di SKTK, SGKP, SGPD, SPG I dan SPSA.
Hal itu dikerjakannya selam 8 tahun. Pekerjaan rangkap inilah yang membuat Poernomo semakin mantap hidupnya dan semakin mensyukuri hidup. Bahwa untuk hidup, orang harus berjuang, penuh kesabaran dan tawakkal.
Makan bubur.
Beruntung Poernomo punya isteri yang sabar. Maklumlah, masih ada hubungan famili. Isterinya, Soetiati dilahirkan di Jambi, 3 Juni 1939. Saat situasi ekonomi masih sulit di Banjarmasin, Soetiati tidak bisa membantu mencari nafkah karena harus merawat tiga anak mereka yang masih kecil. ”Kalau beras habis, kami biasa makan bubur”, kenang Soetiati.
Poernomo anak keempat dari lima bersaudara adalah putra pasangan Jayus Karto Soewignyo dan Sumirah. Dilahirkan di Kaliampo. Pringsurat, Temanggung Jawa Tengah. Sekolahnya tidak mulus karena harus berpindah-pindah lantaran situasi awal kemerdekaan negeri ini. Lulus Sekolah Rakyat tahun 1950 setelah menjelajah berbagai sekolah di SR Pegadon, Kendal kemudian SR Bojo, Semarang Barat, SR Kaliurang, SR Wadas Lintang di Wonosob dan lulus di SR Longkrang II di kota yang sama.
Di SMP juga demikian. Semula bersekolah di SMP Wonosobo, pindah ke SMP Baton Magelang, kemudian SMP III Yogyakarta. Selanjutnya masuk SMA Yogyakarta tahun 1956 dan melanjutkan pendidikan ke Sanata Darma. Lulus Sanata Darma tahun 1959. Namun, karena ada peraturan baru dari Meteri Pendidikan maka dia baru dinyatakan lulus ujian negara tahun 1961.
Makin lama kehidupan keluarga Poernomo semakin membaik, apalagi sejak 1 Juli 1963 pindah mengajar di SPG Negeri Jember. Tugas pasangan ini kemudian menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang perguruan tinggi. ”Alhamdulilah, walaupun anak-anak tidak menerima beasiswa, mereka berhasil menyelesaikan pendidikannya”, kata Bu Poer kepada Gema Lansia.
Kemudian dimulai dari anak angkatnya membiayai anak-anak Pak Poer yang lain. Demikian seterusnya berjenjang, yang sudah bekerja ikut membantu membiayai kuliah adik-adiknya. Putra putri mereka lulusan lulusan ITB dan ITS. Bahkan menantunya juga para insinyur. Hanya yang bungsu saat ini masih tinggal ujian akhir di Fakultas Geologi di UPN Bandung.
Hari-hari tuanya, kini diisi Poernomo dengan apa saja yang bisa dilakukan, termasuk merawat tanaman bungu di halaman rumahnya. Menjadi Penasehat Pengurus PWRI Cabang Jember dan menjadi anggota biasa Pangestu namun selalu memberikan olah rasa . Atau menulis, membuat catatan ringan yang kebanyakan mengenai falsafah hidup untuk majalah Dwija Wara.
Semangat Pak Poer bersama isteri untuk menjadikan putra-putrinya berpendidikan tinggi dan berhasil “menjadi orang” patutlah diacungi jempol. Pasangan pendidik ini sejak awal selalu tabah menghadapi tantangan masa depan yang dilaluinya dengan senyum khas Pak Poer. Semuanya dilakoninya dalam kesederhanaan hidup sesuai moto : “Pingin gesang ingkang wajar lan narimo ing pandum”.
No. Anak Menantu Tinggal di
1. Ir. Hestu Wiji Nugroho Sringatin Jakarta
2. Ir. Ning Nastiti Ir. Edy Sarwono Cilacap
3. Sigit Respati, BSc Esti Hartini, SE Jember
4. Nur Cahyani, ST Ir. Sendy Yulianto Serpong, Banten
5. (Alm) Gunawan Budi R -
6. Sunarno, ST Siti Aminah, ST Ujung Pandang
7. Harso Soetoko (kuliah di Geologi Bandung) Bandung
Cintai kebenaran.
Tentang biaya pendidikan putra-putrinya, Pak Poer yang pengagum Bung Karno ini menjelaskan semuanya ditanggung bersama. Putri angkat keluarga ini, Gianti yang kini tinggal bersama suaminya di Surabaya, mengawali biaya kuliah Hestu bersama Pak Poer. Kemudian berturut-turut Gianti bersama Hestu membiayai adik-adiknya. Demikian seterusnya sampai putra bungsu Pak Poer yang tinggal menyelesaikan skripsi dibiayai oleh kakak-kakaknya.
Menanggapi keadaan dunia yang semakin edan, Pak Poer mengharap agar kita semua mencintai kebenaran, terutama mencintai Tuhan. Oleh karenanya, seyogyanya kita membiasakan diri untuk hidup sederhana, tidak terlalu mengejar kepuasan duniawi.
Ketika ditanya, apa resep hidup yang membuat panjang umur. Pak Poer yang selalu didamping isterinya menjelaskan, makan apa adanya. Kurangi yang manis-manis dan lauk yang menemani makan suami isteri ini cukup sayur bening dengan tahu dan tempe. Pasangan yang tinggal berdua di Jalan Letjen Soeprapto XA/63 Jember ini, masih membaca Panyebar Semangat dan nonton berita di televisi.
Lebaran kemarin putra-putri Pak Poer bersama ke-13 cucunya datang ke Jember. Inilah yang membuat Pak Poer bersama isterinya Soetiati mensyukuri nikmat. Dan Nopember mendatang, Pak Poer bersama isterinya mengunjungi putra-putrinya yang ada di luar kota. Dimulai dari Cilacap, sambil menunggu putranya yang akan melahirkan.
0 komentar:
Posting Komentar