MAKANNYA 3 RIBU SEHARI


Oleh : Imam Soebagio

Suatu pagi, saat udara masih menggigit tubuh, ketika para jamaah sholat Subuh baru turun dari mesjid, nenek tua ini sudah ada di ujung Jalan Rotawu, Sumbersari. Tepatnya di depan gereja (GKJW) Jalan Karimata, Jember. Jalan Rotawu sendiri merupakan jalan kecil menembus ke Perumahan Jember Permai di Jalan Semeru. Sang nenek belum beranjak ke Jalan Semeru karena masih terlalu gelap. Dia hanya berdiri saja sambil memegangi balon dan bola dagangannya yang ditancapkan di ujung bambu.

Begitulah keseharian nenek tua benama Wasiyah ini. Dia tidak tahu lagi berapa usianya, bahkan dia sudah tidak tahu lagi berapa puluh tahun ditinggal mati suaminya. Hidupnya sendiri. Anak tidak punya. Saudara juga tidak pernah diketahui dimana mereka tinggal. Katanya dia punya sebelas saudara, tetapi dia tidak pernah tahu. Malah sejak kecil ketika meninggalkan tanah kelahirannya di Mumbulsari, 12 kilometer dari kota Jember, dia sudah tidak pernah lagi menjejakkan kakinya disana.

Hidup menjanda, sebatang kara, sendiri, sudah dilakoninya berpuluh-puluh tahun. Tetapi sang nenek beruntung masih punya tempat berteduh di Liposos, Talangsari. Pondoknya dia tempati bersama beberapa puluh gepeng yang beroperasi di kota Jember, milik Dinas Sosial.

“Alhamdulilah saya masih bisa hidup dengan cara begini”, katanya dalam bahasa Jawa beraksen Madura. Tak ada senyum di bibirnya. Tutur katanya sopan, tetapi datar, dan nada bicaranya selalu ngemong. Lansia yang satu ini kalau berucap tidak dapat menggunakan kalimat panjang, sebab kalau terlalu lama bicara dia terengah-engah. Kalau sudah demikian, maka tangannya akan mengelus dadanya. Sesekali menahannya agak dalam. Mungkin ada nyeri di dadanya.

Wasiyah setiap menjelang subuh sudah berangkat menjajakan dagangannya ke perumahan-perumahan yang banyak anak kecilnya. Sebelum terik panas matahari menyengat, sekitar jam sepuluh pagi, dia harus sudah sampai kembali ke pondoknya. “Mboten kiyat panas, mumet”, katanya memelas. Kalau bola dan balon (plembungan : red) dagangannya habis maka dia akan untung Rp. 7 ribu.

Ketika ditanya kenapa tidak naik angkot kalau pulang agar tidak kepanasan, dia jawab tidak. Ongkos angkot Rp. 3 ribu, kan lebih baik buat makan, katanya. Perjalanan panjang dari pondoknya dia harus lakoni dengan jalan kaki pulang balik. Karena hidup sendiri, maka dia juga bisa ngirit, makannya sehari dia cukupkan dengan Rp. 3 ribu. Selebihnya untuk kulakan dan keperluan sehari-hari. Setelah istirahat, biasanya sesudah bedug Ashar, di sudah meniupi balon dan bola yang yang akan dijualnya besok. Rutinitas itu dikerjakannya sampai menjelang Isya.

Wasiyah tidak pernah mengeluh. Hidup ini memang harus dilakoni. Keriput ditangan dan diwajahnya menjadi saksi hidup perjalanan sang nenek menapaki masa tuanya. Saya tidak sampai hati bertanya banyak, sebab jawaban yang keluar dari mulutnya selalu diiringi nafas yang tersengal-sengal. Tetapi lansia yang satu ini, sangat mensyukuri nikmat Tuhan berupa umur yang panjang.



0 komentar:

Posting Komentar