WARTAWAN JADUL





Oleh : Imam Soebagio

Hari-hari setelah memasuki lansia, saya merasa masih banyak waktu kosong saya. Waktu tidur tidak bisa dipaksakan 8 jam (sepertiga waktu dalam sehari). Saya membaca Kompas, Jawa Pos dan Surya. Masih ada lagi seminggu sekali baca Koki dan Nyata atau kiriman majalah, tabloid dan pinjaman majalah karena ada tulisan bagus. Semuanya saya lahap sambil bergilir putar channel Metro, TV One, Trans dan JTV. Mungkin asupan ini yang membuat saya agak telmi. Kata teman, memori saya sudah amber alias penuh. Saya pun harus cari solusi supaya tidak linglung. Biar lebih awet dan lebih lama lagi momong cucu. Sebab usia saya 12 Februari 2010 mendatang, 65 tahun.

Sayapun aktif di Yayasan Gerontologi Abiyoso, Karang Werda, Forum Kerjasama Karang Werda dan PWRI (Persatuan Wredatama Republik Indonesia). Ternyata masih ada juga waktu kosong saya. Maka saya harus menulis. Menulis apa saja, untuk apa saja. Termasuk menulis untuk blog saya, menjadi full timer Tabloid Gema Lansia dan menjadi editor Majalah BeR-INTAN. Percaya atau tidak, ternyata semakin banyak menulis semakin terangsang untuk baca, ber-face book ria, dan YM. Saya jadi teringat saat saya jadi wartawan jadul. Terutama saat mengejar nara sumber yang pelit atau saat dikejar-kejar dead-line.

Kepuasan batin.
Ketika saya masih duduk di SMP, saya yang suka nulis “Opo Tumon” di majalah Panyebar Semangat, saya sudah dijuluki waratawan oleh banyak orang. Ketika saya benar-benar jadi wartawan, sekitar 45 tahun silam, saya harus mencari berita, melakukan serangkaian wawancara dan konfirmasi. Saat itu banyak nara sumber yang takut dimintai informasi dan konfirmasi. Sehingga terkadang sulit untuk melakukan wawancara. Padahal untuk menemui sumber berita dan nara sumber harus saya tempuh dengan bersepeda pancal.

Kini, jaman sudah berubah. Berkat kemajuan teknologi yang didukung peralatan canggih, kemampuan berpikir orang semakin maju serta transportasi yang memadai maka tugas wartawan menjadi lebih mudah.

Faktor risiko menulis masa lalu dan sekarang juga beda. Pada waktu itu, menulis sesuatu harus benar-benar hati-hati. Walaupun sudah akurat, kalau para pejabat tidak berkenan pasti akan berdampak kurang bagus. Diseberang sana sudah ada petrus, ada dor-bog, atau kecelakaan lalu lintas yang di rekayasa menanti. Saya beberapa kali ditodong, dua kali dimaki-maki Bupati, beberapa kali dipanggil Kejaksaan dan Subdit Sospol, dimarahi Kepala Humas atau menerima teror telpon.

Kapok lombok kata orang Jawa, meskipun jera tetapi saya masih ingin saja menulis. Seperti jeranya menggigit lombok Hari ini kepedesan, mungkin lusa ingin menggigit lombok lagi. Belum lagi ancaman pemecatan sebagai PNS. Maklumlah status saya sejak 1 Januari 1964 adalah PNS di Universitas Jember.

Pekerjaan kewartawanan menurut saya adalah pemenuhan kepuasaan batin. Diawali dari adanya isyu, kemudian bagaimana wawancara harus dilakukan, proses penulisan laporan dan berita. Terakhir ketika laporan dan berita sudah terkirim, tinggal bagaimana laporan dan berita itu dimuat. Tulisan yang dimuat saya baca berkali-kali. Dalam membaca tulisan saya, ada kepuasan batin yang saya rasakan. Seperti yang selalu disampaikan Sakim (LKBN Antara), wartawan tua yang sudah almarhum kepada saya. Kepuasan batin itu tak ternilai harganya.

Soal kesulitan mencari berita, check and re-check dan konfirmasi barangkali sama pada jaman dulu dan jaman sekarang. Semuanya tergantung kepada kepiawaian kita berkomunikasi dan meyakinkan nara sumber.

Yang beda adalah proses pengiriman beritanya. Dulu harus lewat pos. Dari Jember ke Surabaya bisa dua sampai tiga hari. Ke Jakarta bisa empat hari sampai seminggu. Kalau berita dituntut kecepatannya, maka harus dikirim lewat telegram. Jaman pun berubah sedikit demi sedikit. Kalau berita harus cepat diterima redaksi, maka berita bisa di-dikte lewat telepon. Kemudian berkembang levat faximili. Jaman sekarang bisa dikirim lewat internet atau komunikator. Kecepatan dan akurasinya tentunya semakin terjamin.

Pengiriman berita lewat internet dan komunikator hanya membutuhkan hitungan detik. Bahkan dimuatnyapun, cuma membutuhkan waktu beberapa menit saja. Pada era informasi saat ini, dunia seperti tanpa sekat dan tanpa batas. Kematian Jacko lima menit lalu, tiba-tiba saja sudah dilihat di layar kaca televisi seluruh dunia. Gambar jenazah Jacko yang dipindah dari helikopter polisi ke ambulan menjadi berita aktual. Minimal, di layar kaca sudah ada informasi tulisan dalam bentuk running text. Demikian juga siaran berita di radio. Mereka saling berlomba untuk menyiarkan berita aktual.

Ada pengalaman menarik. Ketika menjadi wartawan TEMPO dulu, untuk mengejar dead-line, saya harus naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta. Padahal naik bus dari Jember – Surabaya membutuhkan waktu 5 jam. Itu dilakukan hanya untuk mengirimkan sebuah laporan kecelakaan Bus Akas yang memakan 26 korban jiwa di Ranuyoso, Probolinggo. Dan, pulangnya ke Jember saya naik kereta api murahan yang penuh sesak.

Angkat topi.
Satu persatu wartawan senior saya meninggalkan kita. Mendahului kita menghadap Sang Khalik. Mereka mungkin tersenyum di sorga karena masih banyak anak-anak muda yang mau memilih profesi sebagai wartawan. Wartawan yang tanpa pamrih, penuh semangat kejuangan dan melawan tirani. Walaupun tantangan, risiko dan konsekuensinya berat. Saya angkat topi buat teman-teman wartawan muda.

Beberapa teman belum lama meninggalkan kita seperti Umar BSA (Jember), Anshori Thoyib (Ketua PWI Jatim), Soenaryo (Bhirawa), Basuki (Panyebar Semangat), Peck Diono (Suara Indonesia), Agil H. Ali (Memorandum) dan sejumlah nama yang saya lupa. Semoga pengabdian mereka selama di dunia dicatat Tuhan dan mendapat tempat yang layak disisiNya. Amin.

Yang tidak pernah saya lupakan ajaran para wartawan senior, bahwa profesi kuli tinta (istilah jadul) dalam tugasnya adalah menyuguhkan fakta untuk diketahui masyarakat luas. Senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, fakta adalah keadaan yang benar-benar terjadi. Wartawan bukan polisi. Wartawan bukan hakim.

Saya berjanji akan menulis seri berikutnya. Kepada teman-teman wartawan, tetap semangat dan selamat berjuang. Sebagai kenangan, ada beberapa foto jadul yang saya sertakan dalam tulisan ini. (1) Meliput meletusnya Gunung Galunggung di Rancapaku dan Kubang Eceng. (2) Liputan meletusnya Gunung Kelut di mulut terowongan Neyama bersama petugas Direktorat Geologi. (3)Rapat Perwakilan PWI Besuki dan Lumajang. (4) Meliput kunjungan Presiden Soeharto saat meletusnya Gunung Semeru.

0 komentar:

Posting Komentar